Laman

Kamis, 07 Februari 2013

Demokratisasi Sang Ayah



Ternyata gurunya membisikkan nasehat berarti pada ayahandanya. Sebuah petuah yang akan bermanfaat baginya di kemudian hari. Malam itu sang ayah hanya mengangguk mengiyakan sambil takdzim mengucap 'nggeh...' berkali-kali. Dia penasaran, menyelubung pada prasangka-prasangka yang ia duga, mencoba memekakkan telinga untuk sekedar menguping wejangan sang guru pada ayah tercintanya. Menatap tajam pada setiap anggukan kepala ayahanda yang sepertinya sepakat dengan yang didawuhkan gurunda.

Malam itu berlalu, dia terlupa untuk sekian lamanya. Hingga hampir lewat enam bulan dia baru terbesit apa yang terjadi malam itu. Dia mulai penasaran lagi. Ingin bertanya pada ayahnya tapi ada rasa gugup, khawatir dia tidak siap dengan isi obrolan antara ayah dan gurunya. Sampai suatu ketika di pagi hari saat santap sarapan masakan terenak sedunia milik ibunda, ayahnya membuka obrolan pagi itu, menanyakan tentang masa depannya yang ia sendiri yang akan menjadi lakonnya. Dia terdiam, gugup, tak tahu harus bagaimana mengungkapkan mimpi-mimpi besarnya pada sang ayah walaupun dia tahu kalau itu bukan masalah bagi ayahnya. Belum sempat menjawab pertanyaan, ayah tercintanya sudah mengutarakan harapan sucinya pada sang anak. "Ayah ingin kamu berpendidikan tinggi, Nak. Itu pesan gurumu yang senada dengan nurani ayah." Sang anak mengangguk dengan artian memahami maksud sang ayah yang tidak lantas menyetujui kehendak ayahnya. Belum sempat berucap, ayahanda menimpali lagi, "Insya Allah, gurumu sudah menyiapkan calon bidadari dunia dan akhiratmu. Dan ayah yakin insya Allah itu pilihan yang tepat. Tepat untukmu, ayah, dan ibumu ini. Engkau yang punya jalan hidup, engkau sendiri yang menentukan. Berhajat untuk harapan ini atau beristikhoroh untuk obrolan pagi ini, itu terserah padamu Anakku, itu pilihanmu. Engkau mantapkan atau engkau anggap sebagai pilihan." Obrolan pagi itu ditutup dengan sesungging senyum manis dari sang ayah. Mereka melanjutkan sarapan pagi dengan intermezzo, tidak dengan pembicaraan serius sebelumnya. Sungguh demokratis sekali sang ayah pada putra tercintanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar