Laman

Jumat, 08 Februari 2013

Dia yang Mulai Lupa



Sesekali dia merasa bosan dengan gemerlapnya nuansa metropolitan, dia ingin keluar sejenak merasuk ke kedinginan fajar di puncak gunung hanya untuk sekedar meretas kelinglungan hidup ibu kota. Baginya hawa dingin lebih bisa dinikmati daripada jingglangnya langit luas yang terik. Sayang, keinginannya belum terwujud. Dia masih terus disibukkan hiruk pikuknya deadline duniawi pekerjaannya.

Nasibnya terus berjalan beriringan dengan keseharian kerja kerasnya. Bisa dibilang mujur atau pun sial. Kontradiktif dengan realitanya, membingungkan. Secara materi dia mujur, tapi batinnya sering terombang-ambing sendiri dengan urusan-urusan kewajibannya, pasalnya dia seakan tak pernah menyentuh nasihat-nasihat Tuhan lagi, jarang menuntut ilmu yang disebar Tuhan melalui malaikatnya. Hampa, kosong seakan tak punya arti lembaran uang merah dan biru dalam dompetnya. Nasib oh nasib, dia merenung, 'Sepertinya tak cocok aku hidup begini' Apakah takdir Tuhan yang salah? ahahaha... kenapa kau harus menyalahkan Tuhan wahai pekerja keras. Tuhan menitipkan hembusan nafas padanya, pilihan menjadi pekerja keras atau pekerja cerdas itu ada padanya yang harus ia putuskan. Tuhan tidak pernah salah.

Tak pernah berlalu begitu saja hasil renungannya. Dia berjalan sambil berpikir, bekerja sambil berpikir. Pantaskah dia mengejar isi dompet sampai harus meninggalkan Tuhannya ? Dia ingin sosoknya yang dulu, bersekolah, kuliah dengan tidak meletakkan Tuhan dalam dompetnya. Tenang dan damai. Nilai baik, bermanfaat dan tak lepas dari Tuhannya. Pikiran itu terus merasuk sampai ubun-ubun dan saraf otaknya sampai terkadang menjalar ke saraf tepi sumsum tulang belakangnya. Bekerja dengan Tuhan yang dia inginkan sekarang.

Dia mulai sadar Tuhan ternyata selalu bersamanya walau dirinya tak pernah titen atas kebesaran-Nya atau bahkan sempat melupakan-Nya. Dia mulai bangun dari ketidaksadaran kesadarannya, bahwa Tuhan akan selalu memenuhi isi dompetnya sekalipun terlupakan. Tuhan membuka mata hatinya bahwa diri-Nya berada dalam hati terdalam sejatinya. Tidak perlu gunung yang dingin untuk menghempaskan keruwetan, cukup Tuhan dalam keramaian dunia diingat maka insya Allah sudah plong. Sebutlah Dia dalam keramaian maupun kesunyian, nama Tuhanmu : Allah Subhana wa Ta'ala..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar