Malam itu rasanya sulit bagiku, memikul beban yang tak terkira, mengendap sejuta pikiran yang rasanya sulit untuk keluar, melanjutkan sebuah amanah yang terasa sangat mungkin untuk meremukkan badan. Saat itu aku ingin beribadah di setiap saat agar mendapatkan kasih- sayang-Nya. Akulah manusia... yang sering lupa pada Dzat yang menciptakanku, hanya ingat ketika dilanda samudra problema. Nafsuku masih sering merajai dibanding nuraniku. Astaughfirullah...
Aku seperti anak ayam yang kehilangan induknya, ling-lung tak tahu harus kemana. Bingung mencari pintu keluar. Aku bagaikan orang-orang malang yang terkunci di kamar hotel lantai paling atas yang saat itu hampir seluruh sisi hotel dikerumuni oleh si rajs merah. Sulit bernafas, kepanasan, dan kemungkinan nyawa ini kembali pada-Nya. Aku gopoh, ingin meloncat tapi tak mungkin karena sama saja aku bunuh diri, yang bisa kulakukan hanyalah berteriak meminta pertolongan pada tim penyelamat. Sesak rasanya dadaku.
Yahhh... layaknya demikian kondisiku saat itu. Aku terlarut dalam megahnya dunia fana. Aku masih belum berkeringat untuk menjadi hamba tersayang-Nya. Baru saat itu aku tersadar bahwa aku memiliki Dzat yang Maha Segala-galanya yang tak tertandingi oleh apapun. Aku baru terbangun dari tidurku yang hanya bermain-main dengan ribuan mimpi duniawi. Kini aku membuka mata untuk memasrahkan diriku di tengah problema yang sulit bagiku. Allah Azza wa Jalla mengingatkanku lewat masalahku. Terima kasih telah memperingatkan hamba yang bodoh ini.
Saat itu 10 malam terakhir Ramdhan 1428 H. Aku menyadari bahwa aku memiliki masalah yang cukup rumit, di hari kedua puluh aku beri’tikaf dan bermunajat pada-Nya. Lewat sholat hajat dan tasbih berjamaah.
Ya Allah... malam itu aku terenyuh dengan isak tangisnya ketika bermunajat pada-Mu. Allah... aku juga tak bisa menahan isak tangis, sesak, bergetar hati ini membuat air mataku meleleh membasahi pipi ini. Yach... dia begitu menikmati indahnya bertemu dengan-Mu. Aku iri melihatnya bisa bermesraan dengan-Mu. Ku coba dengan hati dan cinta tulusku hanya untuk-Mu. Akhirnya, aku bisa menikmati lembutnya kemurahan-Mu ya Allah. Dia yang membuat diriku sadar akan luasnya kasih-Mu ya Allah.
Kunantikan syahdu suaranya di malam selanjutnya. Aku semakin tergetar karenanya. Ingin rasanya bertemu dengan-Mu. Di tengah alunan ayat-ayat suci yang dia lantunkan aku begitu ingin menangis sejadi-jadinya. Aku tak kuasa menahan air mata yang terbendung oleh kedua kelopak mataku. "Maafkan aku... Ya Allah!!!" jeritku dalam sanubari.
Kelezatan beribadah pada-Mu semakin terasa ketika sebuah ujian Kau berikan padaku. Munajatku untuk-Mu tak kan pernah berhenti. Dia menemaniku dengan melodi-melodi keagungan-Mu dalam sembahku. Fasih dan khusuk suaranya membuatku terus bersimpuh memohon ampun dan memohon jalan keluar pada-Mu.
Tak kuasa aku memendam rasa gelisah itu. Aku butuh teman untuk berbagi. Sahabat-sahabatku pilihan tapi tak mungkin. Guru-guru terdekatku pilihan tapi juga tak mungkin. Dalam benak aku tak menemukan siapa yang akan menemaniku untuk duduk mendengar segala gundah gulanaku.
Kubuka ponsel, mencari nama yang mungkin bisa menjadi teman ceritaku. Seketika jari-jariku berhenti di huruf tertentu, kemudian jari itu memijit ke alphabet selanjutnya. Lalu tanganku berhenti lagi di satu nama. Sejenak ku berpikir, "Mungkinkah aku bercerita pada beliau?" Seorang yang begitu agung dan menjadi orang yang disegani oleh banyak orang.” Beberapa detik kemudian kutekan tombol hijau, tapi sebelum ada suara tuut kubatalkan panggilan itu dengan tombol merah. Tak pantas anak ingusan sepertiku menjadikan beliau teman cerita.
Dalam lelap malam seperti biasa kuterjaga untuk berduaan dengan-Nya melalui sembah sujudku. Getaran pita suaranya membuatku semakin terharu. Aku tak mampu menahan sedihku, air mata harus keluar untuk merasaka dekatnya diri dengan-Nya.
Sepulang dari basecamp tiada tara, kumainkan kata-kata indah atas kekagumanku padanya yang telah membuat aku simpati pada kesholihannya. Aku mengatakan padanya dengan bahasa kalbu dalam bahasa Inggris yang kusukai. Ku tak pernah menyangka dia akan membalas kalimat-kalimatku. Namun sayang aku tak bisa mengerti bahasanya, dia membalas dengan bahasa Arab yang mungkin jadi bahasa favoritnya.
Begini bunyinya, “Sukron wa baro kallohu laka wa afwan li lianni la a’rif ka. Maasmuk? Wassalam,” memang singkat tapi aku yakin penuh makna.
Saat aku terjaga dari matiku, kurasakan ujian itu semakin berat. Entah aku tak pernah tahu rencana-Nya. Aku semakin bersedih. Maghrib menjelang, kutunaikan kewajibanku. Rumahku tak berpenghuni hanya ada aku dan seorang pembantu. Di atas kesedihanku, kuberanikan diri untuk bercerita pada seseorang yang tak pernah kuduga. Aku bercerita pada beliau cukup lama. Dalam pembicaraan itu, aku hanya bisa berkata terbata-bata karena isak tangis yang tak bisa kubendung. Tak jarang aku terdiam terpaku, bingung apa yang harus kuperbuat selanjutnya. Isya'pun hampir tiba, beliau memintaku untuk sekedar ngobrol selepas sholat Tarawih.
Semua orang telah menunaikan sholat tarawih. Aku tak berani menemui beliau namun beliau masih menungguku. Aku tak sanggup, karena pasti ketika aku berbicara pada beliau aku akan menangis dan aku tidak mau sahabat-sahabatku tahu lalu curiga dan berpikir ‘kenapa dia?’.
Aku sungguh tak menyesal mengenal beliau. Beliau yang kusebut dia dalam sholat malam memimpin i'tikaf ternyata memang benar seperti apa yang kusanjungkan padanya. Dan itu terbukti, aku merasakan kharismanya. Tak lama setelah beliau membuatku lebih terbuka aku bersilaturrahmi ke dalemnya. Di sana aku berkenalan dengan putra beliau, yang saat ini menjadi sahabatku juga. Di malam itu beliau memberikan hal-hal yang membuatku lebih tenang. Aku juga tak pernah menyangka beliau mau mendengarkan ceritaku sampai larut malam.
Di malam terakhir beri'tikaf aku memohon pada-Nya, “Selesaikan ujian ini, luluskan aku dalam menghadai ujian ini karena esok lusa aku akan meraih kemenangan dari-Mu ya Allah,” Aku menangis untuk mendapatkan kasih sayang-Nya dalam sujudku. Aku meminta dari hati terdalam dengan diiringi syahdu suaranya yang juga disertai isak tangis memuji-Nya. Malam itu air mataku begitu deras membasahi pipi bahkan tak kuasa aku mengusap dengan lengan baju kokoku. Usai bermunajat dalam sholat itu, para jamaah bersalam-salaman. Tiba diriku bersalaman dengannya kucium tangannya penuh terima kasih dan kupeluk erat tubuhnya dengan guyuran air mataku yang deras, kubasahi gamisnya dengan air mata terima kasih.
Kuucapkan, "Ustadz, terima kasih banyak..."
"Sudah...sudah Le, tenang!"jawabnya tenang.
Beliau atau dia dalam hidupku tak ingin kulupakan, ternyata beliau memang seorang figur guru yang kebapakan.
“Ustadz, cepat sekali ya besok sudah idul fitri hari orang Islam untuk meraih sebuah kemenangan setelah berjuang selama satu bulan untuk Allah,” aku menyatakan dengan raut agak tertekuk.
“Ya, inilah tanda kemenangan Allah SWT, takbir dan tasbih yang bertalu-talu di seluruh membran michropone masjid manapun,” beliau berkata sambil berkaca-kaca namun memberikan senyum menang yang mengharukan.
“Saya paham Ustadz, tapi.... mungkin Pandu tidak seperti teman-teman Pandu yang lain,” lanjutku dengan perasaan yang sulit to the point.
“Kenapa ???” tanya beliau sabar masih dengan paras sepuh yang tersenyum
“Masalah yang kemarin Ustadz! Saya masih belum bisa memecahkannya, padahal besok sudah harus saling berjabat tangan saling memaafkan, tapi.....”
“le....,” beliau memotong suaraku untuk menenangkanku, beliau merasa aku mulai emosi.
Aku tertunduk malu dan merasa bersalah karena kurang sopan.
“Kamu tahu Nabi Nuh kan ?” tanya beliau dengan sabar sambil mengambil sebatang rokok yang tergeletak di meja.
“Iya,” jawabku masih tertunduk.
Disulutnya sebatang rokok Dji Sam Soe Filter dengan korek gas berwarna ungu.
“Walaupun beliau seorang nabi tapi apakah anak istrinya mau beribadah pada Allah ? Ndak bisa Pan... Kita sebagai manusia hanya bisa berikhtiar hasilnya Allah SWT yang menentukan, kita hanya bisa pasrah atau bertawakal. Hidayah itu datangnya dari Allah SWT, bukan dari siapa-siapa terlebih dari manusia itu sendiri. Rasulullah yang sangat sayang pada pamannya Abu Tholib, walaupun pamannya mendukung dakwah beliau tapi sang paman tidak mau memeluk Islam. Le kamu kan sudah sering mendengar tawakkal’alallah, terus apa makna dari kalimat itu?” terang beliau tegas namun tetap menyedekahkan sebuah senyum padaku.
Aku yang tertunduk kaku kini tersadar dan harus melelehkan air mata yang sudah tak kuasa terbendung. Aku malu. Kurang bersyukur diriku ini. Allah maafkan aku.
“Ustadz... maaf ya sudah ngerepoti, saya ndak bisa ngontrol diri. Saya takut sekali kalau besok saya harus merasakan kemenangan itu dengan sedikit rasa sedih. Sebenarnya saya tidak mau itu,” kataku pelan dengan sedikit terisak.
“Kalau kamu memang harus bersedih karena Allah SWT mentakdirkan seperti itu kamu harus bisa menerima dengan ikhlas karena apapun dan bagaimanapun keputusan Allah itu tetap yang terbaik,” lanjut beliau sambil memadamkan rokoknya yang masih separuh.
“Iya... insya Allah,”
“Le ingat, bagaimanapun kondisi besok seandainya kamu ingin marah atau kesal tahan dulu, sabar dulu Innallahamaashobirin,” beliau sedikit khawatir padaku yang sering cepat emosi.
Aku hanya mengangguk tidak berani menatap beliau walaupun aku tahu beliau masih tetap tersenyum.
“Allah itu Maha Pengasih dan Penyayang !” lanjut beliau memantapkan.
“Ustadz... doakan saya dan orang tua saya agar mendapatkan lindungan-Nya,” kepalaku sudah tak tertunduk lagi, aku mengucapkan sambil tersenyum.
“Insya Allah, ingat Le Laa Yukalifullah hunafsan illa wus ‘aha, Allah tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya. Itulah yang namanya hidup pasti ada ujian, dengan ujian itu iman kita akan ditingkatkan. Seperti kamu kalau mau naik kelas harus ikut ujian dulu, gitu kan?”
Malam itu akan terekam oleh handy cam termegah milik Allah SWT. Aku merasakan kesedihan namun mendapatkan sebuah siraman rohani dari salah satu sekian ribu manusia biasa yang luar biasa. Malam itu merupakan malam yang akan tergores dalam-dalam di lubuk hatiku. Aku merasakan ketenangan dan kesejukan oleh sebuah lisan indah orang sholih.
Aku harus mencurahkan uneg-uneg ketidaktenanganku pada orang lain karena aku tak mampu memendamnya sendiri. Bagiku lumayan besar dan rumit. dan maaf tidak bisa aku share disini.. :)
*aku kembali terharu ketika membaca tulisan ini, tak terasa sudah beberapa tahun berlalu pertemuan ini dan nasehat serta ilmu yang beliau berikan bermanfaat bagiku. :) siapa mengira sedekat ini tali silaturrahmi ini.?? no one.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar