![]() |
pict taken from beritasidoarjo.com |
Tempo hari saya terjebak macet berjam-jam mulai Lapindo, Porong sampai bunderan Waru. Macet yang saya alami
adalah macet yang disebabkan oleh ribuan masa bersepeda motor yang akan
berunjuk rasa ke gedung Grahadi, rumah dinas gubernur Jawa Timur. Mereka adalah
para buruh yang menuntut orang nomor satu Jawa Timur menetapkan kenaikan upah
minimum.
Benar-benar melelahkan, saya
harus ikut dalam rombongan ribuan roda dua itu selama dua jam. Mereka
benar-benar menguasai jalanan Porong – Surabaya. Buruh laki-laki dan perempuan
berkaos putih dan hitam bertuliskan slogan-slogan pembelaan diri dan tuntutan
mereka pada pemimpin Jawa Timur. Mereka memperjuangkan hak-hak mereka guna
mendapatkan kelayakan hidup melalui materi. Berusaha sampai berpeluh keringat
disentrong panasnya matahari
Surabaya. Menahan haus dan lapar untuk bertemu dengan sang raja, tak banyak
bicara saat di perjalanan, mungkin mereka menyimpan sebagian energi mereka
untuk berorasi di depan griya sakral Grahadi. Ribuan motor yang
berbondong-bondong itu semakin menyesakkan nafas ini, gas buang yang terdepo di
bebasnya udara Surabaya membuat pepohonan seakan tak mampu untuk mendaurnya.
Knalpot-knalpot yang rata-rata sudah 4 TAK itu menghembuskan racunnya, dengan
gas maksimal hanya 20 km/jam menjadikan kerumunan ini seperti siput yang
seakan-akan tak akan sampai finishnya.
Saya terkagum dengan pengorbanan
mereka yang seakan-akan Puputan Jagarana.
Saya juga merasa prihatin dengan mereka karena yang mereka kejar adalah
keduniawian, yang saya yakin dari ribuan anak-anak Adam itu harus mengorbankan
akhirat mereka. Mengorbankan sholat Dhuhur, Ashar bahkan mungkin Maghrib dan
Isya’.
Kagum, iya. Heran, iya. Jengkel, iya. Dan yang pasti ada hal yang saya kurang suka dengan unjuk rasa seperti ini. Benar, mereka memperjuangkan hak mereka.
Tetapi di sisi lain mereka juga merampas hak-hak orang lain. Banyak pengguna
jalan lainnya yang hak-haknya tergadaikan gara-gara mereka. Waktu mereka
diperkosa untuk menunggu antrian siput yang berjuang untuk dirinya sendiri.
Waktu-waktu pengguna jalan lainnya terbuang dengan percuma hanya untuk bersabar
di jalanan gara-gara pengunjuk rasa. Berapa banyak janji yang saat itu harus
molor bahkan urung ? Berapa banyak orang yang mendapatkan caci maki gara-gara
janji mereka terlambat ? Berapa banyak orang yang harus kehilangan kesempatan
emas akan kepentingan urgentnya ?
Hmmm... entahlah apa, siapa, dan mana yang salah ? yang menjadi pertanyaan
dalam benak saya adalah “Dzolimkah mereka
yang membuat macet gara-gara mendahulukan kepentingan mereka di atas pengguna
jalan yang lain ?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar