Laman

Jumat, 30 November 2012

Unjuk Rasa, Dzolimkah ?


pict taken from beritasidoarjo.com
Tempo hari saya terjebak macet berjam-jam mulai Lapindo, Porong sampai bunderan Waru. Macet yang saya alami adalah macet yang disebabkan oleh ribuan masa bersepeda motor yang akan berunjuk rasa ke gedung Grahadi, rumah dinas gubernur Jawa Timur. Mereka adalah para buruh yang menuntut orang nomor satu Jawa Timur menetapkan kenaikan upah minimum.


Benar-benar melelahkan, saya harus ikut dalam rombongan ribuan roda dua itu selama dua jam. Mereka benar-benar menguasai jalanan Porong – Surabaya. Buruh laki-laki dan perempuan berkaos putih dan hitam bertuliskan slogan-slogan pembelaan diri dan tuntutan mereka pada pemimpin Jawa Timur. Mereka memperjuangkan hak-hak mereka guna mendapatkan kelayakan hidup melalui materi. Berusaha sampai berpeluh keringat disentrong panasnya matahari Surabaya. Menahan haus dan lapar untuk bertemu dengan sang raja, tak banyak bicara saat di perjalanan, mungkin mereka menyimpan sebagian energi mereka untuk berorasi di depan griya sakral Grahadi. Ribuan motor yang berbondong-bondong itu semakin menyesakkan nafas ini, gas buang yang terdepo di bebasnya udara Surabaya membuat pepohonan seakan tak mampu untuk mendaurnya. Knalpot-knalpot yang rata-rata sudah 4 TAK itu menghembuskan racunnya, dengan gas maksimal hanya 20 km/jam menjadikan kerumunan ini seperti siput yang seakan-akan tak akan sampai finishnya.


Saya terkagum dengan pengorbanan mereka yang seakan-akan Puputan Jagarana. Saya juga merasa prihatin dengan mereka karena yang mereka kejar adalah keduniawian, yang saya yakin dari ribuan anak-anak Adam itu harus mengorbankan akhirat mereka. Mengorbankan sholat Dhuhur, Ashar bahkan mungkin Maghrib dan Isya’.


Kagum, iya. Heran, iya. Jengkel, iya. Dan yang pasti ada hal yang saya kurang suka dengan unjuk rasa seperti ini. Benar, mereka memperjuangkan hak mereka. Tetapi di sisi lain mereka juga merampas hak-hak orang lain. Banyak pengguna jalan lainnya yang hak-haknya tergadaikan gara-gara mereka. Waktu mereka diperkosa untuk menunggu antrian siput yang berjuang untuk dirinya sendiri. Waktu-waktu pengguna jalan lainnya terbuang dengan percuma hanya untuk bersabar di jalanan gara-gara pengunjuk rasa. Berapa banyak janji yang saat itu harus molor bahkan urung ? Berapa banyak orang yang mendapatkan caci maki gara-gara janji mereka terlambat ? Berapa banyak orang yang harus kehilangan kesempatan emas akan kepentingan urgentnya ? Hmmm... entahlah apa, siapa, dan mana yang salah ? yang menjadi pertanyaan dalam benak saya adalah “Dzolimkah mereka yang membuat macet gara-gara mendahulukan kepentingan mereka di atas pengguna jalan yang lain ?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar