Laman

Selasa, 06 November 2012

KKN Itu Ladang Ber-Fastabiqul Khoirot

November ini saya buka tulisan saya dengan "Surat Rindu untuk Griya Senyum" , bicara tentang Griya Senyum ada kesan tersendiri yang saya tidak tahu saya harus menyebutnya apa, tapi yang jelas berkesan betul. Nah... kali ini saya akan posting tulisan saya setelah beberapa hari KKN saya purna. Tulisan yang saya tulis karena saking berkesannya KKN saya bersama 19 orang teman saya dari bumi Airlangga. Berikut tulisan yang saya tulis satu hari sebelum peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia.



KKN Itu Ladang Ber-Fastabiqul Khoirot 


Sebelum pemberangkatkan KKN, saya benar-benar noto ati ,  merefleksikan diri, bermunajat untuk mendapatkan keridhoaan dan keberkahan Allah ta’ala. Muhasabatun nafs [merenungi diri sendiri] sebelum keberangkatan, saya teringat supervisor saya yang membimbing saya ketika pengabdian masyarakat nasional di beberapa desa pada tahun-tahun sebelumnya. Beliau, drh. Marek pernah berkata, “Lek ngabdi sing temenan Dek, ojo ngapusi masyarakat. Sing opo anane, ojo nduwe pikiran masyarakat onone opo gawe njamu kowe. Lek sapi butuh obat wenehono, ojo nduwe pangarepan liyane soko wong sing sapine disuntik. Ngabdi iku sing total insya Allah ganjarane yo total.”


Ngabdi itu dari bahasa Arab, ‘abdun. ‘Abdun itu artinya pengabdi. Kalau ngabdi kita diniati untuk mengharap keridhoan Ilahi maka pantas kita disebut ‘abdullah, abdine Allah diserap ke bahasa Indonesia menjadi abdullah bukan ‘abdullah. Seorang abdullah itu melakukan pengabdiannya dengan cara ber-fastabiqul khoirot [berlomba-lomba dalam kebaikan]. Dalam hal ini saya tidak hanya ngabdi sesuai dengan latar belakang pendidikan saya. Tapi ada tugas besar yang harus saya emban selain sekedar memberikan fasilitas kesehatan hewan gratis. Tugas besar itu adalah Inni jaa ‘ilun fil ardhi kholifah. Sesungguhnya Allah menciptakan setiap manusia di bumi adalah kholifah. Wakil Allah, wakil-wakil Allah yang mengemban tugas suci untuk menegakkan kalimat Laa Ilaa ha illaLlah. Atas dasar itu disini saya juga berjuang memberikan nuansa Islami, memberikan nuansa syar’i, memberikan suasana yang mampu mewarnai pola pikir masyarakat agar senantiasa minimal sadar kalau mereka punya Zat Yang 
Maha Agung, Allah tabaroka wa ta’ala


Yaaaa... Ada sebuah keluarga yang saya kagumi di tempat saya KKN, mereka tinggal di rumah yang saya menyebutnya Griya Senyum. Mereka adalah Pak Parman, Pak Joko, dan Pak Imam. Saya salut pada mereka karena menemani saya saat saya berlomba-lomba dalam kebaikan, ketiga orang tersebut antusias mendukung perjuangan pengabdian saya dalam menebar Islam. Mengabdi bersama di Masjid Babul Jannah, yang ternyata dari sejak bertahun-tahun berdirinya masjid itu, para pemakmurnya baru mengerti kalau arti dari Babul Jannah adalah pintu surga. -_-a


Terlepas dari itu, pengabdian sekaligus perjuangan yang penuh cerita ini mulai terlihat geliat sumringah kecilnya. Mulai terasa rasa manis sedikit pahitnya. Mulai terasa semangat ruh-ruh para perintisnya. Mulai berkobar api-api semangat para penggeraknya. Penggerak pribumisasi Islam di desa yang katanya masih tertinggal peradaban Islamnya ini. Dan saya akui lewat teropong tele saya kalau penggerak dan perintis itu adalah tiga orang itu, Pak Parman, Pak Joko, dan Pak Imam. Mereka merupakan orang-orang yang saya bilang adalah pencatat sejarah Islam di bumi Kedasih, penyiar-penyiar Islam kang wawase luwih linuwih lagi luwes. Bukan penyiar-penyiar yang anarkhis, bukan penyiar-penyiar yang sak karepe dhewe, bukan penyiar-penyiar yang memaksakan terbentuknya desa islami. Tapi mereka adalah penyiar-penyiar yang senantiasa bersabar.

Saya yakin esok, nama mereka bertiga akan harum, wangi semerbak, indah, mahal, dan langka jati dirinya seperti Edelwise di lereng Bromo.

Teriring doa, JazakumuLlah Khoir... :)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar