Ini cerita yang sungguh menyenangkan untuk dinikmati, yaaa cerita tentang memiliki ikatan dengan orang lain yang sampai-sampai seperti saudara sendiri, bahkan melebihi saudara sendiri sepertinya.
Hmmm... random saja aku menulis ini, tiba-tiba playlist yang bermain suara tinggi agak serak milik Ipang dengan Sahabat Kecil-nya terlantun. Pas betul baru saja hujan disini, aku teringat momen-momen bersama mereka.
Malam itu aku bersama mereka berkumpul di ruang belakang yang sangat luas. Ruang belakang yang terdiri dari meja makan dengan bangku panjang yang rendah (dhingklik, Jawa) dan ada tungku untuk memasak lengkap dengan bara api kecil menyala yang menemani dinginnya malam itu. Aku ditemani satu keluarga besar lengkap malam itu, ayah, ibu, anak-anak dan cucu-cucunya hadir malam itu. Ah jadi ingat suasana kehangatan di rumah :'p.
Malam itu aku bersama mereka berkumpul di ruang belakang yang sangat luas. Ruang belakang yang terdiri dari meja makan dengan bangku panjang yang rendah (dhingklik, Jawa) dan ada tungku untuk memasak lengkap dengan bara api kecil menyala yang menemani dinginnya malam itu. Aku ditemani satu keluarga besar lengkap malam itu, ayah, ibu, anak-anak dan cucu-cucunya hadir malam itu. Ah jadi ingat suasana kehangatan di rumah :'p.
Mereka baru saja menyantap makanan yang bagi mereka cukup istimewa karena sepertinya mereka belum pernah mencicipinya. Mereka aku oleh-olehkan bebek goreng special khas Bu Lely Probolinggo, AlhamduliLlah ada rejeki lebih sehingga aku bisa berbagi walaupun sedikit. Dua dada bebek goreng ukuran besar disantap rame-rame oleh kurang lebih sepuluh orang. hehehehe...
Hanya ditemani cahaya oblik yang remang-remang kami bercengkerama di belakang. Mereka bercerita tentang kekonyolan orang-orang sana yang menghabiskan puluhan juta untuk menggelar pesta selametan dengan pernak-perniknya. Hmm.. mengamati mereka yang bersenda gurau begitu akrabnya, malam itu gelap, bau tanah basah karena hujan, lelah habis bekerja sepanjang hari, pas betul untuk kebersamaan yang orang sering menyebutnya quality time.
Tak mau kalah berbagi cerita, aku yang saat itu duduk bersebelahan dengan Pak'e memulai cerita. Di hadapanku, di amben sudah duduk berurutan Pak Joko, Pak Imam, Bu Erna (Bu Joko), Bu Imam, Cak Siddiq yang tiduran. Sedangkan bocah-bocah duduk di dhingklik bersebarangan denganku, ada Arip, Iwan, dan Rohman. Satu lagi, Emak duduk di depan bara api tungku mendengarkan ceritaku.
Aku bercerita kalau baru saja aku bermimpi. Bermimpi tentang sebuah fenomena yang terjadi di Gunung Bromo, ternyata ada mitos kalau akan mendaki Bromo tidak boleh menginjak kodok sampai kembali pulang ke rumah, kata si kuncen kalau nginjak kodok nanti istri atau suaminya jelek.
Kulanjutkan mimpiku pada mereka, dalam pendakian itu ada aku, Pak'e, Pak Joko, Pak Imam, dan Nik Nur yang semuanya masih bujang. Dalam pendakian itu, baru beberapa meter mendengarkan informasi dari kuncen ternyata Nik Nur nginjak kodok walhasil Nik Nur tidak bersemangat lagi karena ada perasaan khawatir istrinya jelek. Lanjut lagi setelah menaiki tangga-tangga menuju kawah ternyata Pak Imam kurang berhati-hati, kodok menclok di kakinya dan akhirnya kodok itu pun terinjak. Pak Imam pun ditertawakan oleh Nik Nur yang sudah lebih dahulu nginjak kodok, "Hahahaha.. oleh rewang* aku." Tersisa aku, Pak Joko, dan Pak'e yang belum menginjak kodok, kami bertiga tertawa bahagia, berharap istri kami cantik karena tidak menginjak kodok. Tapi ternyata di luar dugaan, saat nyaris menapak di puncak kawah aku harus menginjak kodok. pesssss. Teriakan penginjak kodok lainnya menggelora, menggaung-gaung. Kini tinggal Pak'e dan Pak Joko yang tidak menginjak kodok, mereka terlihat sumringah. Selama kurang lebih 1,5 jam menghabiskan indahnya Bromo kami pun turun. Dalam perjalanan turun terlihat dua orang yang belum menginjak kodok mendahului lainnya.Bergegas untuk segera sampai di rumah dan ingin menunjukkan bahwa mereka selamat dari mitos injak kodok dan akan mendapatkan istri cantik. Separuh perjalanan turun, tak diduga-duga Pak Joko menginjak kodok, spontan aku, Pak Imam, Nik Nur lebih-lebih Pak'e yang tidak menginjak kodok tertawa ngakak merdeka.
Tiba di rumah kami tertawa lepas karena kodok, berjanji satu sama lain bahwa wajib hukumnya untuk mengundang semua personil pendaki Bromo saat resepsi pernikahan. Wajib hukumnya karena tak lain dan tak bukan alasannya adalah untuk melihat bagaimana istri kita besok saat di pelaminan. Saat itu juga Pak'e yang tidak menginjak kodok merasa paling elegan seakan-akan seorang raja yang akan bersanding dengan putri kayangan.
Tiba di rumah kami tertawa lepas karena kodok, berjanji satu sama lain bahwa wajib hukumnya untuk mengundang semua personil pendaki Bromo saat resepsi pernikahan. Wajib hukumnya karena tak lain dan tak bukan alasannya adalah untuk melihat bagaimana istri kita besok saat di pelaminan. Saat itu juga Pak'e yang tidak menginjak kodok merasa paling elegan seakan-akan seorang raja yang akan bersanding dengan putri kayangan.
------beberapa tahun kemudian------
Dalam mimpi itu, begitu cepat kilasan gambaran beberapa dari kami menikah. Dan ternyata betul di mimpi itu aku menikah dengan orang yang tidak begitu cantik, Pak Joko, Pak Imam, dan Nik Nur Pun bersanding dengan wanita yang bisa dikatakan di bawah standar :p. Sampai pada suatu ketika kami berempat mendapatkan undangan istimewa dari Pak'e. Kami berempat pun bertaruh, kalau memang benar istri Pak'e cantik maka kami harus memasukkan uang buwuh sebesar 300 ribu rupiah. Kami berempat pun tiba gedung megah acara resepsi di gelar. Sebelum masuk, kami melihat foto pasangan mempelai di depan pintu utama, ternyata benar-benar cantik istri pak'e. Kami pun harus mematuhi perjanjian awal, memasukkan amplop berisi 300 ribu di kotak buwuh. Masih penasaran dengan istri pak'e yang di foto terlihat cantik bukan main, kami pun memasuki gedung pernikahan. Ternyata betul, cantik. Kami masih nggumun, tak percaya akhirnya kami berempat pun ingin naik ke panggung pelaminan untuk menyalami pasangan mempelai. Saat itulah terjadi perbincangan.
"Waaaaah... ternyata bener kian ceritone Pak Wek kuncen Bromo meko..." celoteh Pak Imam sambil geleng-geleng kepala.
"Iyoo.. bejo riko ndak ngidek kodok," tambahku.
"Mangkane sing ngati-ngati lek mlaku, ndelok dalane," kata Pak'e sambil nyengir bahagia.
Tiba-tiba Nik Nur memberanikan diri untuk ngobrol dengan istri Pak'e, "Sangar, Pak'e mbiyen ndak ngidek kodok mangkane bojone ayu koyok riko, lek awake dewe, wong papat iki ngidhek kodok mangkane bojone ndak ayu koyok riko. Omong-omong, kok gelem riko rabi karo Pak'e ???
"Iyoooo... gelem wae, lhaaah iyoo bojoku ndak ngidhek kodok, tapi mbiyen aku sing ngidek kodok," jawab istri Pak'e ketus agak menyesal.
Dengan cekatan tanpa diperintah kami berempat pun tertawa sejadi-jadinya di atas panggung menertawakan Pak'e "HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA !!!!"
---------------------------------
Malam yang dingin saat itu terasa hangat, kami pun tertawa lepas di ruang belakang. Ada celetukan bertanya pada emak, "Temenan Mak, mbiyen Mak ngidek kodok sakdurunge rabi karo pak'e ? hahahahaha...."
Pak'e dan Mak adalah orang paling sepuh di Griya Senyum, lucu rasanya kalau mereka menjadi bahan gojlokan. hehehe...
Aku bilang pada Mak, "Mak lungguh kene loooh Mak, nyanding Pak'e, Pak'e dirangkul. Tambah sepuh kudu tambah romantis lhooo." gojlokanku disambut gelak tawa anak cucu Pak'e dan Emak. hahahaha.
Tak cukup sampai disitu, Pak Joko dan Bu Erna pun yang sepasang suami istri berebut saling menginjak kodok. hahahaha.... Celoteh ringan dari Rohman putra Pak Imam menambah kehangatan gelapnya malam itu, "Lhooo... berarti mbiyen
ibuk
sing ngidek kodok." hahahahahahaha
Malam itu terasa sekali aroma kekeluargaannya, begitulah orang gunung. Sederhana tapi mengena hatinya. Tidak ada kata sibuk untuk keluarga. Begitu tulus cara mereka menghormati tamu, kalau kata orang Jawa Ngajeni temen.
Sampai jam 10 malam pun listrik belum menyala padahal pemadaman listrik sudah sejak jam 8 pagi. Akhirnya kami pun memutuskan untuk beristirahat dengan harapan nanti tengah malam sudah menyala. Sebelum tidur, aku masih mengingat-ingat canda tawa yang baru saja terjadi, hahaha... tersenyum tipis sambil menyebut nama penghuni Griya Senyum satu per satu, lalu kupersembahkan Fatihah untuk tidur mereka, semoga lelap, mimpi indah, bangun di waktu Subuh dengan listrik yang sudah menyala dan bergiat untuk melakukan segudang amanah di tegal yang telah menanti. Nama terakhir, saat kutolehkan kepalaku pada orang yang sudah mulai kesirep di sebelahku, yang semakin tua, semakin berkerut wajahnya, dan semakin banyak bebannya. Pak'e.
BismikaLlahumma Ahya Wa Bismika Amuut
*menurut kamus Tengger
rewang : batur, bolo, teman
kian : serapan dari bahasa Madura, artinya pisan, juga
kian : serapan dari bahasa Madura, artinya pisan, juga
meko : singkatan dari mau iku, maeng iku, yang tadi ituloh
riko : sampeyan, kamu
tegal : ladang
tegal : ladang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar