Laman

Selasa, 06 November 2012

Senja Itu Aku Bertanya Tentang Menangis



Sore selepas saya berkegiatan di pondok saya langsung menuju kamar santri di atas. Sebelum saya masuk kamar saya melihat seorang santri sedang berbaring di tempat yang tidak biasa, ia berbaring di atas genteng sambil menghembuskan nafas pelan-pelan diiringi dzikir. Nggumun, kenapa harus disana dia berleyeh-leyeh 

"Disini Mas, nikmat. Anginnya semilir, Surabayanya ndak terasa," dia berkata-kata tanpa menoleh ke arah saya.
"Boleh juga, tapi apa nggak jebol ini genteng kalau saya yang naik ?" tanya saya.
"Hahaha.. ndak kira Mas, gentengnya kuat kok," jawabnya.

Sementara itu di balkon dekat genteng juga ada seorang ustadz yang berbaring menikmati sepoinya angin Surabaya sore. Beliau, Ustadz Mahsun memejamkan mata sambil berkomat-kamit membaca ayat Qur'an dengan syahdu dan khusyuk.

Teman saya mangkir dari atas genteng, mau mandi katanya. Sendiri di roof top, saya mencoba hal yang dilakukan teman saya tadi, mencoba tenang, merasakan keberadaan-Nya melalui hasil karya ciptaan-Nya berupa semilir angin, jingganya sore, bulan cembung yang ingin tersenyum, dan lantunan qiro'ah dari surau-surau sekitar. Ah... benar-benar nikmat. Benar-benar sempurna rasanya sore itu. Berbaring di atas genteng sambil tak terasa melelehkan air mata kenikmatan.

Sejenak saya melirik Ustadz Mahsun yang masih berbaring dengan kaos oblong putihnya, tenang sekali wajahnya, seakan tak punya masalah. Setelah mengusap air mata yang tak terasa menetes tiba-tiba saya membuka obrolan senja itu.

"Ustadz, orang menangis itu kan hal yang wajar. Pripun, mbedakan antara nangis yang cengeng dan nangis yang hatinya tersentuh ?"
"Tergantung nangisnya, kalau mudah nangis gara-gara hal-hal konyol, gara-gara hal yang tidak penting berarti dia cengeng. Tapi kalau nangisnya gara-gara bertafakkur dan berdzikir pada Allah berarti hatinya ndak atos."
"Contohnya ?" tanya saya lugu.
"Yaaa kalau ndak penting itu misalnya nangis karena putus dari pacar, nangis nonton sinetron, dan nangis-nangisi hal yang ndak perlu ditangisi. Kalau nangis karena hati contohnya ya nangis ingat mati, nangis ingat perjuangan Kanjeng Nabi, nangis ingat pengorbanan orang tua," jawab beliau masih dengan mata terpejam.

Tak lama kemudian adzan Maghrib berkumandang pertanda obrolan senja ini harus diakhiri.

Hmm... saya itu mudah nangis, tapi semoga tangisan saya bukan tipe tangisan cengeng melainkan menangis karena hasil tafakkur dan dzikir saya pada-Nya. aamiin... :')

Tidak ada komentar:

Posting Komentar