![]() |
Masjid Agung At-Taqwa Bondowoso |
Alhamdulillah... kerinduanku pada
tanah kelahiran akhirnya sudah terbayarkan. Meminjam kalimat Syahrini, tiga
bulan tidak pulang kampung itu ‘sesuatu ya’.
Sudah barang tentu bocah sepertiku dirindukan orang tuanya dan kampung
halamannya. ‘Hambar rasanya tanpa dirimu,’ begitu kata Bondowoso. Hahaha
Keasrian kota yang mempesona, originalitas hawa udaranya yang khas, ketentraman penduduknya yang
menenangkan jiwa, keelokan budaya saling menyapanya masih melekat. Yaa itulah
alasan mengapa saya cinta Bondowoso.
Guru besar saya pernah bercerita,
“Saya ini bukan asli Bondowoso, tapi saya cinta Bondowoso. Sekarang kita lihat
pembesar-pembesar masjid agung, adakah yang asli Bondowoso ? Bupatinya ? dan
Pejabatnya ? Saya punya harapan besar di masa depan, Bondowoso menjadi besar
karena orang-orang Bondowoso sendiri.”
![]() |
Monumen Gerbong Maut Bondwoso |
Benar juga, pembesar-pembesar
perintis masjid agung sepertinya sedikit sekali yang asli Bondowoso, dari
nama-nama berikut, almaghfurlah KH Masrur Masyhud, almaghfurlah KH Qusyairi Mahfudz, KH. Imam
Barmawi Burhan, KH Achmad Sodiq, KH. SA Hodari, KH Kholiel Syafi’ie, KH.
Siddiq, yang saya tahu hanya KH Siddiq yang asli Bondowoso. Tiga bupati terakhir
yang saya tahu juga bukan asli Bondowoso. Pejabat-pejabatnya juga demikian,
yang saya tahu asli Bondowoso juga hanya sedikit.
Dawuh guru besar saya
bertahun-tahun yang lalu itu ternyata baru menjadi sebuah renungan ketika saya
saat ini secara tidak langsung ‘dipersiapkan’ untuk menyongsong majunya
Bondowoso. Yaa menjadi mahasiswa adalah mempersiapkan diri untuk menjadi
pemimpin dan penerus tongkat estafet perjuangan bangsa ini. Memang saya juga
punya mimpi besar untuk kembali ke Bondowoso setelah lulus nanti, membesarkan
Bondowoso dengan kehijauan sawahnya, membirukan Bondowoso melalui Sampeyan
Barunya, dan membersihkan Bondowoso dengan budaya kearifan lokalnya. Ada
cita-cita besar yang ingin saya tunaikan dengan eksistensi saya sebagai dokter
hewan esok. Mewujudkan Bondowoso yang tidak kebarat-baratan, yang tidak
terjajah teknologi namun tak buta teknologi, mewujudkan Bondowoso yang sehat, melestarikan
potensi SDA semacam Kawah Ijen, Tancak Kembar, dan persawahan Bondowoso, serta
merealisasikan peternakan hewan besar yang saya rasa cocok untuk diwujudkan di
tanah semacam Bondowoso.
Azam itu sepertinya indah ketika
sudah benar-benar terjadi, lebih indah lagi ketika saya membangunnya dengan
putra daerah lainnya. Bersama teman-teman saya yang lulusan Fakultas Kedokteran,
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan, Teknologi, Pertanian dan Teknologi Pertanian, Fakultas
Pendidikan Agama Islam, Planologi, Kebidanan, Statistik, Kehutanan, jurusan
lainnya dan teman-teman daerah yang mondok
dengan sungguh-sungguh di Pesantren semisal Nurul Jadid, Sidogiri, Gontor,
Lirboyo, Tebu Ireng, Darul Ulum, dan lain-lain.
Kalau dulu peradaban Kanjeng Nabi
adalah peradaban manusia yang madani, maka saya ingin setidaknya peradaban
Bondowoso di masa mendatang mendekati madani, madani yang tetap berasaskan
Pancasila, UUD 1945 Non Amandemen, dan kearifan lokal yang murni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar