Laman

Rabu, 23 Mei 2012

Sabar

Begitulah sekiranya tulisanku kali ini, aku pun juga harus sabar untuk menulis tulisan ini, sudah semakin lama aku mengenal beliau, beliau yang kini kutahu memang benar, sabar adanya. Sabar dalam tiap langkahnya, sabar dalam tiap sikapnya, sabar dalam menunggu, sabar dalam menghadapi ujian-Mu, sabar dalam sabar. Ya begitulah, sabar dalam sabar, itu yang kutahu

Sekali lagi, beliau bukan seorang ustadz lebih-lebih seorang kyai. Bukan, beliau bukan kedua-duanya. Wajahnya tenang, dan terlalu sering lebih tenang daripada seorang ustadz. Kerut wajahnya terlanjur berwibawa, dan tak jarang wibawa itu seperti seorang kyai. Kulitnya pun tak putih tapi aura cahaya rahman rahim selalu bersinar. Tenang, wibawa, dan aura itulah yang membuatku semakin memahami bahwa dia adalah orang yang sabar.

Kenanganku mungkin tidak terlalu banyak dibandingkan dengan orang-orang yang sudah kenal beliau jauh-jauh lebih lama daripada aku. Akan tetapi, tak apalah, bagiku setiap moment pertemuanku sudah sangat luar biasa, sudah begitu berkesan, sudah memberiku sebuah ibroh walaupun dengan obrolan-obrolan ringan. Aku merasa menjadi orang yang luar biasa bisa kenal beliau, aku merasa menjadi orang yang beruntung bisa kenal beliau. Beliau yang tak jarang memberikan suntikan motivasi walaupun mungkin beliau tidak sadar, beliau yang memberikan pelajaran hidup walaupun mungkin beliau hanya berbicara sepele, namun itulah yang menjadi bekalku, sedikit atau banyak bekal-bekal itu mulai menggunung dan membuatku semakin membuka bekal-bekal itu untuk memecahkan masalah-masalah yang semakin komplit.

Keistiqomahan yang diimbangi dengan kesabaran membuat sosok beliau jarang mengeluh, masjid hidupnya, pasang surut jamaah masjid tak membuat beliau aras-arasen lebih-lebih mandeg. Tak semudah itu beliau bertindak, tak sependek itu beliau berpikir. Kulihat kerutan wajahnya yang semakin banyak, rasanya tak pernah sakit hati atau tersinggung orang ini. Hebat. Subhanallah…

Begitulah akung, mbah kung. Bukan aku mem-hiperbola-kan tapi itu yang kulihat, tak kulebih-lebihkan. Akung, sosok itu selalu membuatku rindu. Terkadang, saat kujenuh belajar kupandang mading (majalah dinding) di kamar kostku, mading yang penuh dengan tulisan-tulisan motivasi, catatan-catatan anatomi, farmakologi, virologi, parasitologi, bakteriologi dan mikologi, helmintologi, protozoologi, entomologi, teknologi pakan hewan, genetika hewan dll. Di antara tulisan-tulisan yang benar-benar berhasil memeras otakku itu kemudian aku tersenyum melihat wajah-wajah yang selalu mendukungku dan selalu kurindukan. Ya… foto-foto mereka seakan-akan menjadi dosen yang menyenangkan diantara catatan-catatan bahasa latin -yang seakan-akan membuat kepalaku pecah. Wajah-wajah itu pun seakan tersenyum padaku dan berkata, “Ayo Nak belajar lagi.” Semangatku pun bangkit lagi untuk belajar. Akan tetapi, sekejap kupandangi lagi seluruh isi majalah dinding berwarna hijau berbahan styroform itu. Terlihat di pojok kiri bawah, beliau masih tersenyum, bertopi, dengan kaos hijau berdiri tegap. Akung, yang belum kulihat di antara wajah-wajah yang sudah menyemangatiku, dengan cepat pun aku teringat kesabaran akung. Seakan-akan foto akung berkata, “Yo sabar, sinau yo.. mugo lancar success !” begitulah kira-kira yang akung ucapkan.
***********
Liburan semester 1 kemarin aku menghabiskan liburanku di rumah, senang bisa menemani akung. Hampir tiap hari aku sempatkan untuk berkunjung ke rumah beliau sampai suatu ketika beliau merasa kurang fit, merasa kurang enak badan. Kupijat badannya yang memang panas dingin. Dua hari beliau tidak ke masjid karena kondisinya yang kurang baik. Kuharap akung segera sehat dan bisa kembali beribadah dengan sempurna seperti sebelumnya. Akan tetapi, ternyata beliau terkena DBD (demam berdarah dengue) dan harus dilarikan ke rumah sakit. Innalillah… 

Jujur kasihan melihat akung harus terbaring lemah di rumah sakit, sempat satu pagi aku sendiri menemani akung. Kulihat raut wajahnya tanpa kacamata yang biasanya melekat, rambutnya yang sudah putih, kulihat akung tidur menghadap samping dengan satu tangan di bawah kepalanya, sedangkan tangan yang lain masih tak bisa bergerak bebas karena terinfus, akung tertidur payah pagi itu. Tubuhnya mengkerut seakan – akan kedinginan, kulihat selimutnya sudah membalut tubuh akung tapi kakinya masih tak tertutupi. Selimut itu kupegang untuk kutarik menutupi kaki akung, kupegang kakinya, dingin memang, kemudian kuurungkan selimut itu menutupi kaki akung, kupijat dulu kedua kakinya mungkin bisa sedikit mengurangi rasa dinginnya. Kupijat kaki beliau, kulihat parasnya masih nyenyak tidur, kuambil selimut itu untuk membalut ujung kaki beliau yang dingin. Lalu aku duduk kembali di kursi tamu, sejenak lagi memperhatikan nafas perut beliau yang begitu pulas. Entah kenapa tak terasa air mataku meleleh melihat pemandangan pagi itu. 

Akung orang hebat. Subhanallah… setelah beliau pulang dari rumah sakit, beliau harus istirahat di rumah. Istirahat untuk memulihkan stamina dan kesehatannya, salut tapi khawatir hanya beberapa hari akung di rumah kaki beliau sudah tak tahan lagi untuk melangkah menuju baitullah, masjid tercinta Al – Ihsan.
Perjuangan beliau untuk ngeramut masjid memang pantas diacungi jempol, pantas untuk mendapat sambutan suara Allahuakbar untuk mengundang semangat – semangat orang lain yang akan memakmurkan masjid.
***************
Lama sudah aku tak pulang kampung, rindu berat pada akung. 
Kukirim sms, “kung kangen stadium 4.” 
Kemudian dengan cepat beliau membalas, “Pulaaang.” 

Niat untuk segera pulang sudah tertancap, tapi selalu saja urung karena kesibukan kampus yang luar biasa. 

Satu ketika aku sms beliau, “Kung insya Allah tanggal 3 Januari insya Allah pandu pulang.” 

Namun tak kunjung ada balasan, dan ternyata ada kabar kalau beliau sakit dan harus rawat inap di rumah sakit. Panik rasanya, ingin cepat pulang, ingin segera ketemu akung. Tepat akhir tahun, tanggal 31 Desember 2010 aku mendapat kabar kalau beliau sudah pulang dari rumah sakit. 

Alhamdulillah lega rasanya, lalu ku sms akung “Alhamdulillah, sudah di rumah ya kung. Jaga kesehatan ya.” 
beliau pun membalas, “Tahu dari siapa kamu? Kamu ndak pulang? Kujawab, “insya Allah besok atau lusa pulang.”

Seminggu ini, pagi – pagi setelah belajar aku ke rumah akung, sekedar menemani pagi akung dan uti dengan candaan dan obrolan yang bagiku itu adalah hal istimewa yang tidak akan pernah aku dapatkan dimanapun kecuali di rumah akung. Hanya disana aku mendapatkan nuansa yang begitu berkesan, belajar kesabaran, belajar untuk lebih dewasa, belajar untuk berpikir baik, belajar bagaimana bercanda dengan orang – orang seumuran beliau. 

Hahahaha… mungkin aku sudah terlalu besar untuk bermanja – manja, tapi terkadang aku sadar sepertinya aku manja ketika berhadapan dengan kedua orang itu, akung dan uti. Ah tak apalah… aku sudah tidak punya orang seperti mereka, walaupun mereka orang lain tapi sudah seperti mbahku sendiri. Malu kalau ingat. Ingat saat kirim sms ‘kangen’ pada akung, karena mereka sebenarnya bukan siapa – siapa tapi biarlah toh bagiku kini mereka adalah siapa – siapa yang sedikit banyak memberiku pelajaran. Inilah takdir Allah, tak pernah kutahu, tak pernah kusangka, siapa yang bisa menebak kalau sekarang aku punya mbah lagi??? tak ada. Aku pun tak tahu. Alhamdulillah… aku merasa menjadi orang yang paling beruntung, semangat itu kudapat dari energi – energi ruh sepuh mereka. Akung uti. 

Benar, rencana Allah. Rencana Allah itu lebih indah, indah, indah pada waktunya. Hatiku terus memerintahkan, “uskurillah wa tasbihahu.!!!” Kujawab, “yaa.. subhanallah wal hamdulillah.” Akung uti, membuatku terus bersyukur, membuatku terus berdoa, berdoa untuk usianya agar lebih berkah, manfaat, dan berdoa semoga usia beliau panjang. Kalaupun suatu saat nanti waktu akan berbicara bahwa kami harus berpisah, ku masih berdoa dan berharap bisa bertemu di alam baru sana, di alam yang kekal, di alam yang nyata, di alam yang penuh kebahagiaan. Akhirat. Bertemu lagi dengan canda tawa seperti saat ini. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar