Laman

Selasa, 22 Mei 2012

Guru


Kalau orang bijak bilang ‘pengalaman adalah guru yang terbaik’, saya setuju-setuju saja tapi ada hal yang tak tergantikan dari sosok guru yang sebenarnya, perawakan guru yang benar-benar digugu lan ditiru. Saya bersyukur sekali memiliki guru-guru yang laku amalnya becik dan pantas untuk diteladani.

Sebelumnya, saya tidak pernah menyadari kalau salah satu guru terbaik saya adalah Bapak saya sendiri, mungkin karena dulu jarang merenung ya. Kini saya menyadari kalau beliau itu mendidik saya dengan usaha yang nyaris sempurna agar saya menjadi anak yang diidam-idamkan kesholihannya. 

Ikhtiar beliau saya perhatikan ketika saya pulang kampung akhir pekan yang lalu. Pendidikannya tidak menggurui, nuturi, dan ngotot tapi lebih ke arah diskusi. Berdiskusi tentang budaya kearifan lokal, how to be a leader, fenomena pendidikan, bagaimana berinteraksi dengan orang lain, kepemerintahan, negara, masa depan, dan juga termasuk urusan jodoh. Benar, bapak saya bukan dari kalangan santri yang jago dalam bidang agama, tetapi bagi saya rasa sosial bapak saya dalam berakhlak tidak kalah dengan lulusan pondok pesantren. 

“Sudahlah Nak, tak perlu kau ikut organisasi kemasyarakatan semacam NU atau Muhammadiyah apalagi yang lain, biarkan darah NU-mu mengalir dalam amal laku sehari-hari. Saat ini bukan ‘jaminan’ menjadi pengurus organisasi masyarakat sekalipun berbasiskan Islam, justru sudah banyak contohnya yang dari pengurus ormas, eh... sekarang menjadi tokoh panutan koruptor negeri ini. Menjadi pengurus rukun kifayah insya Allah lebih baik, mengurus jenazah dan menghibur keluarganya dengan tahlilan.”

Weww... tajam tapi faktual !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar