Kalau orang bijak bilang ‘pengalaman
adalah guru yang terbaik’, saya setuju-setuju saja tapi ada hal yang tak
tergantikan dari sosok guru yang sebenarnya, perawakan guru yang benar-benar digugu lan ditiru. Saya bersyukur sekali memiliki guru-guru yang laku amalnya
becik dan pantas untuk diteladani.
Sebelumnya, saya tidak pernah
menyadari kalau salah satu guru terbaik saya adalah Bapak saya sendiri, mungkin
karena dulu jarang merenung ya. Kini saya menyadari kalau beliau itu mendidik
saya dengan usaha yang nyaris sempurna agar saya menjadi anak yang
diidam-idamkan kesholihannya.
Ikhtiar beliau saya perhatikan ketika
saya pulang kampung akhir pekan yang lalu. Pendidikannya tidak menggurui,
nuturi, dan ngotot tapi lebih ke arah
diskusi. Berdiskusi tentang budaya kearifan lokal, how to be a leader, fenomena
pendidikan, bagaimana berinteraksi dengan orang lain, kepemerintahan, negara, masa
depan, dan juga termasuk urusan jodoh. Benar, bapak saya bukan dari kalangan
santri yang jago dalam bidang agama, tetapi bagi saya rasa sosial bapak saya
dalam berakhlak tidak kalah dengan lulusan pondok pesantren.
“Sudahlah Nak, tak perlu kau ikut
organisasi kemasyarakatan semacam NU atau Muhammadiyah apalagi yang lain, biarkan
darah NU-mu mengalir dalam amal laku sehari-hari. Saat ini bukan ‘jaminan’
menjadi pengurus organisasi masyarakat sekalipun berbasiskan Islam, justru
sudah banyak contohnya yang dari pengurus ormas, eh... sekarang menjadi tokoh
panutan koruptor negeri ini. Menjadi pengurus rukun kifayah insya Allah lebih
baik, mengurus jenazah dan menghibur keluarganya dengan tahlilan.”
Weww... tajam tapi faktual !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar