Laman

Selasa, 23 April 2013

Marah, Kapan Kau Berhenti?

Semalam aku mendengar lagi suara beliau yang selalu bisa menenangkanku. Melalui sebuah gelombang canggih : handphone, aku berbicara dengan beliau.

"Assalamu'alaikum," sapanya saat nada tuuut sudah tidak terdengar lagi.
"Wa'alaikumsalam warrohmah, Ustadz selamat ulang tahun ya, semoga sehat dan tambah berkah," begitu ucapku singkat, tanpa ingin berbicara panjang lebar, karena mungkin beliau masih kecewa denganku, tumben-tumben sms ku tidak dibalas soalnya.
"Iya, barokallah... barokallah... amien... amien...," sepertinya beliau tahu kalau aku merasa bersalah betul.
"Ya sudah, gitu saja Ustadz. Hati-hati dan sehat-sehat ya," maksudku mengakhiri perbincangan malam.
"Nak.. Ndu Ustadz minta tolong dikirimi nomor si Fulan ya?" potong beliau sebelum menutup teleponku.
Mendengar nama itu, aku masih sedikit risih, seperti biasa aku memang belum bisa mengendalikan nafsu amarahku, "Duhkaaah Ustadz, kenapa harus... iya iya iya dah, Pandu kirim. Wassalamu'alaikum," hatiku masih bergejolak.

Istighfarku setelah obrolan itu kurapal terus. Aku menyadari maksud guruku menyebut nama si Fulan di depanku, mungkin untuk meng-ishlah-kan masalah yang terjadi antara aku dan Fulan. Astaghfirullah, aku baru saja berlaku tidak sopan (untuk kesekian kalinya) pada guruku. Entahlah, aku kadang bingung dan terus bertanya, 'sampai kapan aku menjadi orang labil begini?' Ternyata pikiranku belum tua. Nafsu,  ego, gengsi, dan amarahku masih terlalu sering berada di garis depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar