Laman

Selasa, 30 April 2013

Gadis Berkerudung Oranye



Hanya berjarak tidak lebih dari tiga meter aku melihatnya dengan tidak sengaja. Kuingat-ingat lagi sembari memilih keperluan yang kucari. Siapa dia? gadis berkerudung oranye, aku lupa-lupa ingat. Aku mencoba menganggap enteng dan bersikap 'sudahlah', lalu aku melanjutkan lagi mencari keperluanku. Ternyata di spot yang berbeda aku berpapasan lagi dengannya. Oh meeeen... what a signal is ! :p dalam hitungan tiga, yesss I got you. Aku tahu siapa dia.

10 menit kemudian

Parkiran motor, saat adzan Maghrib berkumandang kubuka fruit tea strawberry dan langsung meneguknya. Lagi, kali ini dia ada di depanku sekitar 7 meter dari motorku. Aku tersedak dan seketika kupanggil namanya tanpa pikir panjang. Kalau-kalau benar dia pasti tersenyum atau paling tidak menganggukkan kepala, dan kalau bukan keberuntunganku pasti aku akan bergegas menyembunyikan wajahku dengan helm merahku.

Oh meeeeeen !
I was right... Dia tidak memalingkan wajahnya justru mempercepat langkah menghampiriku, mencari tahu siapa yang memanggilnya. Setelah kami bertatap muka sempat ada rasa gugup karena hampir dua tahun kami tidak bertemu. Aku ceritakan kalau di dalam mini market tadi aku sempat melihatnya tapi aku ragu untuk menyapanya, aku pangling karena dia semakin menawan. *Suuuiiiitttt suuuuuiiit* But just only about 5 minutes we talked. Sebentar saja, karena Maghrib sudah berkumandang.

Hihihihihihi... aku sempat kagum padanya karena daya pesona yang tidak dimiliki perempuan lain. Smart! ya pintar yang diiringi dengan balutan kerudung anggunnya, tingkah lakunya yang sungguh sopan dan berhati-hati dalam berbicara. Smartnya terbukti ketika tadi kami ngobrol ternyata Maret lalu dia sudah wisuda. :)

Hahahaha... dulu ada kejadian menggelikan, yaa saat kami baru berkenalan. It seemed so silly! aku tersipu malu saat dia ternyata mencurahkan hatinya tentangku pada sahabatnya yang ternyata juga temanku. Saat itu temanku bilang, "Fulanah banyak bercerita tentangmu Ndu, dan hari ini dia menitipkan salam untukmu. Cieee!"

Senin, 29 April 2013

Melanjutkan atau Merintis Lagi ?


Saat semangat kita ternyata tidak diikuti semangat lainnya, maka tidak perlu berkecil hati. Menurut saya ada dua opsi untuk meresponnya, yang pertama membesarkan hati dan melanjutkan aksi dengan penuh semangat atau membesarkan hati dengan merintis di tempat lain. Pilihan yang memang benar-benar membutuhkan hati yang besar. Pilihan pertama dan kedua akan membuahkan dua kemungkinan juga, sama-sama diikuti semangat juangnya atau sama-sama terasa sangat naif. 

Kata Imam Tirmidzi, "Al Iimanu yaziidu wa yanqush, Yaziidu bith thoo'ah, wa yanqushu bil ma'shiyah." Iman itu bertambah dan berkurang, naik dan turun. Bertambah karena ketaatan dan berkurang oleh sebab maksiat. Dalam konteks ini saya akan mengutarakan tentang kemasjidan, yang saya cukup aktif di dalamnya, aktif memakmurkannya dengan minimal sholat berjamaah di masjid. Melihat pasang surutnya AKTIVIS dan jamaah masjid, bisa jadi semangat seseorang untuk memakmurkan masjid adalah dimana iman seseorang sedang bertambah. Sudah jelas, berarti orang tersebut memiliki ketaatan yang bagus. Begitu pula sebaliknya, ketika seseorang aras-arasen, merasa belum pantas, minder, takut, curiga, dan berprasangka macam-macam yang ujung-ujungnya menimbulkan malas memakmurkan masjid. Berarti orang tersebut sedang berkurang imannya, seperti kata al imam, bahwa berkurangnya iman disebabkan oleh maksiat. Na'udzubillah...

Sebuah teguran yang harus segera ditaubati jika iman kita sedang turun. Berarti ada yang salah di dalam tingkah laku dan niat hati kita. Oleh karena itu, hal yang diperlukan dalam membina iman yang kapan saja bisa terbalik ini adalah dengan berjamaah. Coba kita tengok lagi filosofi orang kuno tentang sodo (jawa, red : sapu lidi), sebatang lidi tak akan mampu membersihkan pelataran luas dalam waktu singkat, namun kumpulan lidi yang diikat jadi satu pasti menyelesaikan pekerjaan itu dengan lebih cepat. Lidi yang satu tidak sekuat yang sekumpulan. Sama halnya dalam memakmurkan masjid, semuanya harus berjamaah. Dimulai dari sholat lima waktu berjamaah di masjid, berkumpul dengan orang-orang yang suka sholat berjamaah, berdiskusi dan merencanakan lomba kebaikan bersama orang yang suka sholat berjamaah. Kata Cak Nun dalam tombo ati, Kumpulono Wong Kang Sholeh. Berkumpul dengan orang sholih akan membentuk karakter tiap pribadinya. Tiap orang yang ada di dalam komunitas itu akan merasakan butuh terhadap jamaah yang lain. Butuh dalam artian untuk terus menambah kualitas iman pada Allah ta'ala.

Fenomena yang terjadi saat ini. Mereka yang mengaku aktivis dakwah, yang katanya aktivis masjid justru lebih senang berkumpul-kumpul saja di masjid. Berkumpul bukan dalam rangka ta'lim, tetapi berbicara hal yang sepertinya kurang ada kaitannya dengan agama. Faktanya, masjid hanya dijadikan basecampMarkas orang-orang mukmin yang produktif tidak masalah, tapi yang terjadi tidak demikian.

Semangat dakwah yang membakar niat untuk fastabiqul khoirot ini sedang menunggu jawaban pada saat yang tepat. Melanjutkan atau merintis di tempat lain ? Itu pilihan yang saya punya. Saya akan menunggu itu, bagaimanapun pilihan saya dalam waktu yang sudah saya deadline-kan ini, saya harus memilih.

Sabtu, 27 April 2013

Indonesiyin Itu Bersholawat



Shollu ‘ala Muhammad. Sebuah kalimat paling sederhana ungkapan cinta kita pada sang teladan, duh kanjeng Nabi kangen pasurian paduko (rindu menatap wajahmu) begitu kata Emha Ainun Nadjib dalam tembang pangkur kerinduannya. Sahabatku,  Nabi Muhammad adalah manusia paripurna lagi sempurna di antara manusia-manusia yang ada di seantero bumi ini, sosok agung yang sangat patut untuk dijunjung laku amal dan tutur ucapnya. Pas, tak ada yang missed. Beliau yang mengajarkan cinta, seluas-luasnya cinta yang sepeninggalnya banyak sekali ‘ulama’, filosof, pujangga, penyair, tokoh dunia yang mendefinisikan sesuai apa yang ada di kepala masing-masing. Beliau yang memberikan contoh untuk menebar cinta tanpa batas pada orang lain melebihi cinta pada diri sendiri. Maka seberapa besarkah kita meneladani beliau di masa krisis di tahun 2013 ini ?

Sederhana. Tidak perlu muluk-muluk berpikir dalam beramal, do it and continue it, now! Kalau kata Aa’ Gym, mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri, mulailah sekarang. Kanjeng Nabi adalah manusia tanpa pamrih, sepelit-pelitnya muslim untuk meneladani beliau, beliau akan tetap tersenyum. Akan tetapi, meluasnya cinta beliau yang tidak terukur oleh luasnya jagat ini pada muslim sampai akhir zaman, sudah sepantasnya kita tidak menjadi orang yang kikir, kita ummat beliau sudah mengenal Islam dengan lengkapnya tata cara beribadah, tata cara berpikir syar’i, tata cara beretika, dan bermuamalat. Kita yang terselamatkan dari penjajahan pola pikir kafir Qurays, yahudi, penyembah api, dan nasrani pada pra dan awal hijriah setidaknya membuktikan terima kasih kita pada beliau. Sederhana : bersholawat.

Bukankah Allah sendiri beserta malaikat-Nya bersholawat kepada kekasih-Nya yang tampan rupawan tersebut ? Bukankah orang yang beriman juga diperinta untuk bersholawat sebagai bentuk penghormatan pada beliau ? (Al-Ahzab:56). Duh Kanjeng Nabi, Manusia yang sedikit tidurnya. Mau jadi ummatmu yang seperti apa jika kami tak mau bersholawat padamu ? Sahabatku, sebuah riwayat menerangkan, “Al bakhilu man dzukirtu ‘indahu falam yusollu ‘alayya. Orang pelit ialah orang yang namaku disebutkan di sampingnya, namun ia tidak bershalawat untukku.
 
Sahabatku, Indonesia adalah negerinya para pecinta sholawat. Sholawat Burdah, Maulid Habsyi, Barzanji, Sholawat Nariyah, Sholawat Munjiyat, dll, semuanya ada di Indonesia. Indonesiyin kalau kata orang Arab, pada dasarnya adalah orang-orang yang tahu diri dan tahu bagaimana cara berterima kasih pada seseorang. Termasuk pada Nabinya yang mengajarkan Islam.

Globalisasi, demokratisasi, reformasi, bahkan liberalisasi yang semuanya bisa dengan mudah terlaksana saat ini membuat ummat Islam terpecah belah, dimanapun tak terkecuali Indonesia. Era penjajahan Islam di Indonesia bersatu, tak pandang warna kulit, suku, daerah, kaya, miskin, yang penting Islam, bersyahadat punya azam yang sama kuat : mengusir penjajah dari negeri yang gemah ripah loh jinawi ini. Kini ? berbagai ajaran atau kalau boleh dibilang aliran yang asalnya bukan asli Indonesia, sudah merebak di Indonesia. Pecinta sholawat dibuat marah, penabuh hadrah dibuat naik pitam, pelantun sholawat di surau-surau pedesaan digertak agar tak menyenandungkan pujian. Atas nama bid’ah mereka menaburkan benih-benih pikiran agar luntur rasa cinta Indonesiyin pada nabinya. Astaghfirullah.

Bolehlah bermanhaj apa saja, punya prinsip apa saja selama tidak merusak tradisi baik yang sudah mendarah daging di tubuh Indonesiyin. Sholawat bagi muslim Indonesia adalah satu hal yang menciri khas. Tidak ada bangsa lain yang memiliki sholawat seperti di Indonesia. Sholawat terlantunkan saat pernikahan, saat tasyakuran, saat rapat, saat berkumpul di masjid, dan waktu-waktu lain yang baik. Bukankah yang demikian adalah hal yang baik ? kenapa harus dihapuskan ? ada yang salah ? Kalau sebagian orang yang berpendapat bahwa bersholawat berlebihan adalah mengkultuskan Nabi, menuhankan Nabi. Eitssss... tunggu dulu jangan menghukumi hati seseorang, jangan sembarangan mengkafirkan seseorang. Mereka tahu kalau Rasulillah pernah bersabda, ““Janganlah kalian memujiku secara berlebihan, seperti halnya orang-orang Nasrani yang memuji Isa bin Maryam secara berlebihan. Aku hanyalah seorang hamba. Karena itu, katakan (tentang aku), ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya.” Sholawat adalah perkara yang tidak ada salahnya, karena sholawat juga perintah dari Allah ta’ala, bersholawat atas nabi adalah tradisi yang baik jadi tidak lah perlu menghapuskannya. Kalau kata Mbah Hadratus Syeikh Yai Haji Hasyim As’ari, “Almuhafadzoh alal qodimisshalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik).”

Sahabatku, mengupas kisah peradaban Rasul Muhammad memang tidak akan ada habisnya. Sebuah cerita panjang tentangnya bukanlah dongeng pengantar tidur, bukanlah mitos atau legenda, melainkan kisah-kisah bersejarah yang nyata. Terekam dalam sebuah kalam terindah sampai akhir zaman : Al-Qur’an. Terceritakan dalam hadist-hadist dan kitab Sirah Nabawiyah yang penulisnya sholih dan berhati-hati. Pembuka gerbang cahaya menuju Ilahi yang jasanya tak kan terbalas oleh apapun, selain ucapan terima kasih untuknya. Maka berterima kasihlah dengan sholawat tulus untuk Manusia nomor satu dunia dan akhirat, Baginda Muhammad Saw. Karena mungkin saja sholawat kita menjadi pembuka tirai antara wajah kita dengan Al-Amin. Sungguh indah jika bisa bertatap muka dengannya. Shollu ‘alaih.

Selasa, 23 April 2013

Innamal Mu'minuna Ikhwana



Siang itu aku masuk gang kecil di sebelah taman kanak-kanak Islam di kawasan Mojo Kidul, sebuah daerah yang bertetangga dengan Kedung Pengkol. Kuturunkan gas Jupiter MX merahku mengingat gang yang kulewati memiliki lebar yang tidak lebih dari 3 meter. Kutolehkan kepalaku ke utara saat motorku melaju pelan di depan rumah ketiga dari ujung gang. Aku melihat beliau sedang duduk sibuk dengan obeng dan pekakas elektro lainnnya. Beliau asyik mengobati 'pasien' berupa barang elektronik yang dipercayakan orang-orang padanya. Orangnya berbadan bongsor, rambut memutih, dan sepasang kaca pada kedua matanya. Seperti biasa kupanggil beliau, "Mbaaaaah..." dengan laju motorku yang santai, beliau sekilas terlihat terkejut dan menyahut, "Yooooo.," mungkin beliau mbatin, 'sudah lebih sebulan aku tak mendengar suara anak itu.'

Yaaa.. tengah hari aku baru tiba di Surabaya, setelah sebulan lewat aku harus pulang kampung karena ada tugas yang harus kuselesaikan dan bertepatan dengan itu pula aku jatuh sakit. Sakit yang memaksaku untuk terdiam dan terbaring di atas dipan kamar. Walaupun spring bed namanya tidur dalam kondisi sakit yaaa tak nyaman juga. Hampir tiap malam aku tidak bisa memejamkan mata, insomnia kata orang. Kalau pun tertidur, sebentar-sebentar harus mengigau dan membuat mama atau bapak bingung. Pagi hari ketika semua orang di rumah bergegas dengan pekerjaan di luar rumah, aku hanya bisa monoton, paling-paling di depan tv nonton acara musik yang isinya cukup membosankan juga.

Satu hal yang kusesalkan dengan kondisiku yang lemah, tidak bisa sholat berjamaah di masjid. Maghrib, Isya', dan Subuh yang jarang luput kuhadiri akhirnya benar-benar absen. Sholat dalam kondisi duduk rupanya kurang nyaman juga. Walaupun ada rukshoh (keringanan), ada rasa malu pada Sang Pencipta, kenapa harus duduk? Seperti biasa, marahku masih tak terkontrol, aku marah pada diriku sendiri yang lemah, yang ketika jatuh sakit harus membuat susah banyak orang, ngerepoti banyak orang. Tak jarang aku berkeluh kesah pada kedua orang tuaku sambil marah-marah. Astaghfirullah...

Akan tetapi, biidznillah... Singkat cerita, setelah sebulan lebih, Allah mengangkat penyakitku perlahan-lahan. Mataku mulai normal lagi, perutku juga sudah sedikit berkurang rewelnya.


------------------


Ada hal menarik ketika beberapa hari kemarin aku tiba di Surabaya. Suatu pagi ketika aku berniat memandikan MX merahku, tepat di depan musholla ada dua orang yang menghadangku,

"Stoooop, stooop sek... alon-alon ojo kesusu."
"Ngge, ngge...," kujabat tangan salah satunya yang lebih dekat denganku.
"Nang endi ae Rek, kok ndak tau jamaah?" tanyanya.
"Wangsul Pak, wonten kegiatan teng Bondowoso," jawabku sambil menyumbangkan sesungging senyum.
"Iyooo, kok ndak tau sholat bareng sak ulan iki?" tanya lelaki tua yang memegang obeng.
"Ngge Mbah... wangsul, hehehe," sahutku.

------------------

Malamnya, saat dzikiran ba'da Isya', lelaki sepuh dengan perawakan bongsor yang biasa kusapa dengan agak teriak 'Mbaaah' saat melewati depan rumahnya, malam itu menepuk pundakku,

"Ono acara opo muleh?"
"Nggarap skripsi Mbah," aku tersenyum getir karena berbohong menyembunyikan sakitku.
Beliau masih menatapku penuh selidik, "Mosok mung nggarap skripsi?"
"Ngge Mbah.."
Seakan-akan beliau ingin menanyakan 'ndak sakit ta, sakit opo?' tapi beliau mengalihkannya dengan kalimat, "Tak pikir muleh jalaran kawin, hahaha," beliau hampir tertawa lepas namun bisa menahan karena melihat situasi jamaah lain masih dzikiran berjamaah.

Selepas Isya'

Sebenarnya aku terharu dan ingin menangis. Tiba di kontrakan Mojo Kidul 3H, seorang teman kontrakanku mengabarkan kalau sudah beberapa kali orang-orang musholla bertanya tentangku kok lama sekali tidak sholat jamaah. Deg. bergetar hati ini.  Ternyata sungguh tiap mukmin itu bersaudara.

Aku bertanya padanya, "Kau bilang apa?"
"Tak kandakno lek awakmu loro mangkane pulang kampung," katanya ramah.

Bukan, bukan aku gedhe rumongso tapi benar aku merasakan getaran dahsyat ketika diinterogasi oleh dua orang di depan musholla. Memang dari beberapa jamaah, yang sering berkomunikasi denganku ya dua orang itu, Mbah Mahmud dan Pak Mas'ud, sehingga mungkin secara otomatis dan tidak kami sadari hati ini sudah terpaut atas nama ukhuwah yang Allah ta'ala ridhoi, aaaamiiin.

Aku merasa, mereka : Mbah Mahmud dan Pak Mas'ud menginterogasiku dengan hati, dengan iman, dan perasaan bahwa tiap mukmin adalah saudara. Innamal mu'minuna ikhwana (Al-Hujurat : 10).

Anak Bawang kok Ngomong Nikah


Beberapa bulan yang lalu walaupun obrolan ringan Abuya dawuh, "Piye... gelem ta Le? hehehe.. Karo sekolah sek ndak popo."

Ustadz Taufiq dawuh, "Yaaa... setelah ini turuti saja apa kata gurumu."

Pak Joko orang lereng Bromo agak ngenyek ngomong, "Wes mas ojo omong arep dipakani opo bojo iku, rejeki iku wes ono sing ngatur."

Mas Yudi juragan pulsa berkata, "Tukang becak yang anaknya tiga saja bisa menafkahi anak-anaknya sekolah, Allah sudah ngatur rizkinya orang nikah Dek."

Bahkan seorang Pak Senol abang becak dekat rumah bilang, "Sampeyan kapan Dek, nikah?" 

 Dan baru saja selepas Maghriban, Mbah Mahmud muadzin musholla kost ngendikan, "Tak pikir kamu pulang karena kawin. hahaha."

itu hanya beberapa, sisanya ? cukup banyak yang tertarik membicarakan urusan jodoh dengan saya

-----------------

Entahlah pertanda apa ini ? Memang semakin bertambahnya usia, semakin dekat pula pada jenjang menyempurnakan separuh agama ini. Tidak, saya tidak galau untuk urusan ini. Saya lebih galau urusan lulus kuliah tahun ini, hehehe. Namun, ketika orang-orang di sekitar saya banyak yang menyinggung tentang nikah, jodoh, menyempurnakan separuh agama, atau apalah itu, saya punya sebuah firasat yang connect dengan semua perbincangan ini. Lebih-lebih beberapa yang menyinggung hal itu adalah orang-orang yang sholih.

Dengan siapa, kapan, dan bagaimana ? itulah yang menjadi pertanyaan besar. Sebuah rahasia yang tidak bisa diterka-terka walaupun sepertinya terlihat di depan mata karena jodoh itu memang hak preogatif Allah untuk menentukan pasangan tiap hambanya.

Ada teori yang tidak saya pelajari secara mendalam, karena saya rasa bukan hal yang prioritas untuk sekarang. Suatu ketika salah satu guru saya dawuh, "Jodoh itu jangan tanya siapa dan yang bagaimana. Tapi kamu mintanya siapa dan yang seperti apa. Diikhtiarkan dengan benar, jangan seperti orang kebanyakan yang harus pacaran terlebih dahulu."

Satu hal yang saya tahu, apapun itu jika dada kita sudah semakin sesak membuncah, semakin terdesak dan terasa sempit terhimpit. Maka itu pertanda apa-apa yang kita perjuangkan semakin dekat pula, insya Allah.

Tak bisa bicara banyak soal ini, saya masih anak bawang :p.


Marah, Kapan Kau Berhenti?

Semalam aku mendengar lagi suara beliau yang selalu bisa menenangkanku. Melalui sebuah gelombang canggih : handphone, aku berbicara dengan beliau.

"Assalamu'alaikum," sapanya saat nada tuuut sudah tidak terdengar lagi.
"Wa'alaikumsalam warrohmah, Ustadz selamat ulang tahun ya, semoga sehat dan tambah berkah," begitu ucapku singkat, tanpa ingin berbicara panjang lebar, karena mungkin beliau masih kecewa denganku, tumben-tumben sms ku tidak dibalas soalnya.
"Iya, barokallah... barokallah... amien... amien...," sepertinya beliau tahu kalau aku merasa bersalah betul.
"Ya sudah, gitu saja Ustadz. Hati-hati dan sehat-sehat ya," maksudku mengakhiri perbincangan malam.
"Nak.. Ndu Ustadz minta tolong dikirimi nomor si Fulan ya?" potong beliau sebelum menutup teleponku.
Mendengar nama itu, aku masih sedikit risih, seperti biasa aku memang belum bisa mengendalikan nafsu amarahku, "Duhkaaah Ustadz, kenapa harus... iya iya iya dah, Pandu kirim. Wassalamu'alaikum," hatiku masih bergejolak.

Istighfarku setelah obrolan itu kurapal terus. Aku menyadari maksud guruku menyebut nama si Fulan di depanku, mungkin untuk meng-ishlah-kan masalah yang terjadi antara aku dan Fulan. Astaghfirullah, aku baru saja berlaku tidak sopan (untuk kesekian kalinya) pada guruku. Entahlah, aku kadang bingung dan terus bertanya, 'sampai kapan aku menjadi orang labil begini?' Ternyata pikiranku belum tua. Nafsu,  ego, gengsi, dan amarahku masih terlalu sering berada di garis depan.

Senin, 22 April 2013

Sebuah Opini Tentang Dakwah



Sengaja saya tidak cantumkan dalil atau ayat yang mendasari tulisan saya kali ini. Saya menulis dengan keinginan hati terdalam saya sehingga tanpa berpikir panjang tentang dalil pun semoga Anda bisa menganggukkan atau menggelengkan kepala Anda. Semoga bermanfaat.


Ini tentang dakwah,
Ini tentang kemakmuran masjid,
Ini tentang saya yang dibesarkan dalam lingkungan dakwah,
Ini tentang saya yang disadarkan akan masjid,
Ini tentang saya yang karena jasa-jasa beliau bisa menuliskannya.

Bismillahirrohmaanirrohiim...

Berdakwah itu memerlukan niatan tulus, berdakwah yang memiliki pengertian sederhana mengajak (pada kebaikan) adalah sebuah tindakan yang memerlukan hati murni hanya untuk Allah ta'ala. Dakwah adalah sebuah kewajiban yang dimiliki tiap muslim, minimal dakwah pada diri sendiri. Mendakwahi diri sendiri berarti berinstropeksi terhadap tingkah laku amal sendiri, baik laku amal mahdhoh atau pun ghoiru mahdhoh. Berkaca seberapa besar pengorbanan kita terhadap dakwah pribadi dan dakwah untuk kemaslahatan ummat ? Kalau sudah ditetapkan bahwa dakwah adalah sebuah kewajiban, maka seharusnya tiap muslim yang tidak melakukannya tidak akan berpahala (dalam hal dakwah).

Hal yang membedakan kewajiban dakwah dengan kewajiban yang termaktub dalam rukun Islam adalah kesadaran. Kita tahu bahwa rukun Islam yang kita pelajari sejak Taman Kanak-Kanak adalah sebuah kewajiban pasti yang harus dilaksanakan bagi tiap mukmin muslim. Bahasa lainnya adalah sekumpulan perintah dalam rukun Islam adalah ibadah mahdhoh, ibadah yang memiliki hubungan langsung antara manusia dengan Allah. Sedangkan dakwah ? yang dalam arti sederhanya adalah mengajak tidak demikian, dakwah adalah ibadah ghairu mahdhoh. Ibadah yang tidak murni dan tidak langsung berhubungan dengan Allah, tetapi ibadah yang memiliki tujuan untuk mendekatkan diri pada Allah (Taqarrub Ilallah). Begitulah dakwah, Ghairu mahdhohnya sama dengan ibadah seperti tolong menolong, saling menghormati, bersikap sopan santun, menebarkan senyum, dan lain-lain.

Setiap mukmin muslim adalah dai. Begitu yang sering saya dengar di berbagai pengajian, bagi saya tiga huruf yang digelarkan pada tiap muslim bahwa dirinya adalah dai, cukup memberatkan. Tanggung jawab moral menjadi bebannya, karena tiap berdakwah membutuhkan kekuatan hati yang murni. Bagi saya berdakwah bukan hanya sekedar menyelenggarakan kegiatan yang tersyi'ar luas semacam pengajian akbar, kirab Ramadhan, doa dan istighosah akbar, pesantren ramadhan, atau pun ziaroh wali 9. Akan tetapi, ada hal lain yang lebih inti dari itu semua, goal-nya. Membuat sebuah pageleran bernuansa Islam sehingga orang Islam berpesta dan bangga dengan kemuslimannya tanpa berkontribusi menambah iman takwa sasaran dakwah, apa artinya ? 

Coba kita lihat, sepengalaman saya berkunjung ke beberapa masjid, lembaga, organisasi bernafaskan Islam, bahkan pesantren ketika saya tanya apakah selain kegiatan yang ada embel-embel 'Akbar'nya juga memberikan daya tarik masyarakat sehingga mereka berbondong-bondong hadir secara akbar ? Bagaimana dengan kegiatan rutinnya, banyak juga yang berpartisipasi ? Hanya beberapa yang mengatakan iya, itu karena sang pengampu, pengasuh pengajian konsisten dan komitmen terhadap apa yang diajarkan dan diamalkan. Ada keteladanan. Tidak sembarangan berbicara, tidak sembarangan berdakwah, ada bukti nyatanya, dan walaupun kita tidak bisa menghukumi hati seseorang tapi tanda-tanda dhohirnya terlihat : dakwah yang memiliki daya tarik adalah dakwah yang tulus karena-Nya.

Seperti yang saya tuliskan di awal : minimal berdakwah pada diri sendiri. Berkaca, kalau kita sudah menjadi orang yang mengajak pada Allah ta'ala di tengah-tengah orang banyak tapi ternyata mereka tidak tertarik pada kita, kita sudah berusaha sekuat tenaga, usaha ngalor ngidul mengajak orang lain untuk memakmurkan masjid, mengajak orang lain menghadiri pengajian rutin, tapi ternyata seakan-akan tidak membuahkan hasil. Orang lain tidak tertarik. Tidak perlu menyalahkan mereka, tidak usah menyalahkan mereka yang mungkin memang belum tersentuh hidayah, tidak penting membicarakan mereka yang lebih mementingkan dunia daripada hanya meluangkan 1-2 jam untuk mengaji. Diri sendirilah yang patut dipertanyakan, bahkan mungkin patut disalahkan. Jangan-jangan ada yang salah pada diri kita sendiri. Terpenting dari itu semua, kesalahan kecil yang berdampak besar adalah niat. Niat yang kurang tulus bisa menjadi lantaran usaha kita tidak berbuah apa-apa.

Dalam hal berdakwah pada orang banyak, dakwah yang dipayungi oleh ikatan jamaah dengan ikatan persaudaraan yang kuat akan menjadi pengaruh antara satu dengan yang lain. Boleh jadi si fulan memiliki niat murni karena Allah ta'ala, si B juga tulus, si C juga begitu. Akan tetapi, jika yang lain kurang ikhlas maka tidak menutup kemungkinan Allah memberikan hasil lain terhadap ketulusan si mukhlisin (orang yang ikhlas) di dalamnya. Setahu saya ketika kita berada dalam dekapan ukhuwah, saling ber-fastabiqul khoirot, saling mengajak kebaikan pada orang lain maka dosa, khilaf, salah yang satu akan berdampak pada lainnya juga. Begitu pula sebaliknya, kebaikan, kelebihan dan kesholihan yang satu akan berakibat pada lainnya. Sudah tidak perlu dipertanyakan apa dampaknya ? Siapa menanam kebaikan akan panen kebaikan dan sebaliknya.

Maka, menjadi penting ketika kita membangun sebuah rumah yang baik diperlukan bahan-bahan dengan kualitas baik. Mendirikan sebuah komunitas kebaikan untuk mengajak orang lain menuju jalan-Nya juga dibutuhkan orang-orang yang memiliki nilai-nilai kebaikan. Sekali lagi kita tidak bisa menghukumi hati dan niat seseorang, hanya bisa melihat tanda-tandanya. Seseorang niat atau tidak dilihat dari ghiroh, laku amal, tindakan nyata pada dakwah itu sendiri, dan keseharian ibadah mahdhohnya.

Terakhir, dakwah itu bukan coba-coba, bukan main-main melainkan suatu hal yang serius. Apalagi yang akan kita berikan pada agama ini ? Bukankah sejak SD kita sering mendengar doa 'Ya Allah jadikan kami anak yang bermanfaat bagi agama, bangsa, dan negara' ? Jika Anda sudah merasa bermanfaat pada agama lantas tidak berdakwah, silahkan. Wallahu a'lam bish Showwab.

Salah, Marah, dan Kecewa

Tak bermanfaat. Aku merasa benar-benar tak berguna. Ya aku telah melakukan kesalahan fatal, kesalahan akibat apa yang sudah kulakukan tapi akhirnya terasa sia-sia. Aku memuncak marah. Marah karena aku merasa benar. Posisiku kali ini seperti telur di ujung tanduk, bak memakan buah simalakama juga : serba salah. Aku yang benar tetap saja salah, harus kuakui itu.

Oh meeeen... Entahlah, yang jelas aku salah. Sekarang bingung harus bersikap bagaimana, harus berbuat apa. Aku salah walaupun benar. Kesalahanku adalah kemarahanku, kemarahan yang mungkin tidak seharusnya. Kekecewaanku adalah buah dari niatku yang sepertinya kurang murni karena-Mu. Oh.. malu aku pada-Mu, malu pada diri sendiri, dan malu pada orang lain.

"Marah itu buat orang jadi bodoh Nak," begitu guruku meredamku.
"Tapi Ustadz, Pandu terpaksa," dalihku dengan nada sedikit kurang sopan.
"Bukan, bukan terpaksa. Pandu belum bisa mengontrol diri, belum bisa mengendalikan emosi."
"Pandu salah ? wajar kalau marah kan ? semuanya sudah Pandu bicarakan apa resikonya ?" aku masih berargumen.
"Nak... kalau marah wudhu', sholat, istighfar."
"Berkali-kali Pandu meredam dengan itu, tapi kali ini memang sudah penuh, sesak dada ini," nadaku semakin tak berarturan.
"Niatmu?" tanya beliau meninggi dengan tegas.
"Yaaaaa... Untuk kebaikan Ustadz," aku masih keukeuh.
"Ridho Allah?" beliau menegaskan lagi dengan nada lugas.
Aku terdiam, terisak menahan air mata yang sejak awal pembicaraan tadi mau tumpah.
 "Akui kesalahanmu, Pandu seorang ksatria. Kalau tak ada yang mengalah bisa jadi hidup Pandu yang tidak tenang," beliau menurunkan tensi bicaranya.
"Ndak sampai hati Pandu mau mengucapkan maaf."
"Tidak perlu berbicara kalau Pandu masih tidak sanggup berbicara, sms Nak," kata beliau.
"Pandu coba, Ustadz," sahutku.
"Ditata lagi hati dan niatnya, perbanyak sholat dan istighfar," tutupnya.
Aku salah, walaupun salah dalam kebenaran. Salah tapi gengsi mengucapkan kalimat sederhana : maaf.

Duh Ustadz, maafku belum bisa menjadi murid yang baik. Belum bisa mengamalkan ilmu dengan baik. Dalam kekecewaanmu terhadapku, semoga engkau membaca pesan singkatku yang masuk pada telepon genggammu, "Selamat menggenapkan usia, Guruku!

Sabtu, 13 April 2013

Jangan Hina Beliau

Posisi saya satu bulan saat itu dilematis, berada di daerah pegunungan bersama dua puluh orang teman yang laki-lakinya hanya lima orang. Hanya ada dua sepeda motor dan yang ahli mengemudikan di daerah ekstrem semacam pegunungan hanya saya dan dua orang teman laki-laki, yang salah satunya cedera karena tergelincir di medan bebatuan. Maka dari itu untuk mobilitas kegiatan yang maslahatnya lebih besar, saya dilanda pilihan sulit. Haruskah membonceng seorang perempuankah ? Nurani dan idealisme berkata tidak dulu, tapi keadaan sepertinya memaksa. 

Guru. Disanalah saya akan mendapatkan sebuah jawaban.

Namun ternyata, tidak semua orang punya pandangan sama akan pentingnya seorang guru. Saat saya berkonsultasi pada guru saya, ada seseorang yang katanya ustadz ikut nimbrung berkomentar.

Sempat tertegun dan sedikit tertohok saat beliau yang katanya ustadz mentertawakan tindakanku, tindakan yang menurutnya konyol. Konyol sekali. "Ngapain kamu telpon Ustadz A hanya untuk bertanya apakah kamu mendapatkan izin dari beliau untuk bisa membonceng perempuan ? Hahahaha... Ndak perlu begitu, bonceng saja. Ndak usah minta izin segala," ucapnya dengan nada ngece.

Kenapa saya sedikit merasa tersinggung ? orang yang saya mintai pertimbangan dalam kehidupan saya selain orang tua saya adalah guru saya. Guru yang benar-benar tahu kondisi saya secara personal, yang mengerti software diri saya. Anda mungkin heran dan beranggapan tidak penting, tapi sepengetahuan saya selama saya ngaji, orang tua, mertua, dan guru itu harus dijunjung. Mungkin Anda guru saya, tapi Anda hanya sebatas guru, kalau beliau yang Anda sebut-sebut sebagai sesuatu yang kurang penting kaitannya dengan saya adalah guru yang tidak terbatas. Beliau adalah guru yang mendidik dan membina sehingga saya punya pola pikir yang bisa dikatakan lebih luas dan luwes.

Bukan saya mengkultuskan beliau, tapi saya menghormati beliau dan meletakkan posisi beliau dalam drajat yang tinggi di mata saya. Jadi wajar kalau saya tersinggung. Anda telah membuat saya terluka dengan sedikit menghina eksistensi guru saya yang memang dinamis mendidik saya. Oleh karena itu, saya juga mohon maaf kepada Anda selaku orang yang lebih tua jika saat itu saya merespon komentar Anda kurang berkenan. Maaf.

Berbijaklah Anda, saya yakin Anda juga akan merasa tidak nyaman jika Anda punya seorang guru yang intens dan tahu benar bagaimana Anda, lalu orang lain menganggap kehadiran guru Anda kurang penting bagi Anda.

Selasa, 09 April 2013

Mati

Akhir akhir ini ada banyak sekali pesan masuk di telepon genggamku, pesan yang isinya memberitakan tentang kematian seseorang. Pesan yang membuat hati ini langsung ingat bahwa mati itu sederhana. Tidak bernafas. Jantung ini berdegup ketika mendengar kematian. Umur mana ada yang tahu. 

Indah, mereka yang menghunjamkan iman dalam hatinya. Elok, mereka yang mempondasikan Allah dan Rasul sebagai pijakan pertamanya. Tinta emas menjadi miliknya ketika semua itu mereka bawa mati. Sungguh tiada hal yang paling nikmat selain mati dalam keadaan Islam. Lebih-lebih saat kematian menjemput, nyawa dan nafas terakhir ini berdzikir pada-Nya. Cita-cita.

Aku tidak pernah bosan mendengar cerita kematian mereka-mereka yang matinya mempesona. Mati dalam kondisi yang mungkin diidam-idamkan banyak orang. Mereka yang mati saat sholat, ngaji, wirid, sujud. Aku juga tak pernah jemu saat diceritakan mereka yang mati pernah meninggalkan amal kebaikan. Mereka yang mati dengan sedekahnya yang sembunyi-sembunyi, mereka yang mati dengan tebaran senyum kesabarannya, mereka yang mati dengan Dhuha takpernah putus, mereka yang mati dengan sholat malam rutinnya, mereka yang mati dengan selalu membantu orang tuanya, mereka yang mati dengan berjuat ilmu yang diamalkannya, mereka yang mati dengan disiplin tinggi ibadahnya, mereka yang mati dengan suka menolongnya, mereka yang mati dengan sifat pemaafnya, mereka yang mati dengan dedikasi tinggi terhadap kemaslahatan masyarakatnya, mereka yang mati dengan idealisme-idealisme kemajuannya, mereka yang mati dengan perjuangan-perjuangannya, dan mereka yang mati dengan ketawakkalannya. Mereka yang selalu yakin akan Innalillahi wa inna ilaihi roji'un, patut diteladani. Pas untuk dijadikan inspirasi.

Mati.
Cita-citamu, mau mati bagaimana ?