Begitulah
sekiranya tulisanku kali ini, aku pun juga harus sabar untuk menulis tulisan
ini, sudah semakin lama aku mengenal beliau, beliau yang kini kutahu memang
benar, sabar adanya. Sabar dalam tiap langkahnya, sabar dalam tiap sikapnya,
sabar dalam menunggu, sabar dalam menghadapi ujian-Mu, sabar dalam sabar. Ya
begitulah, sabar dalam sabar, itu yang kutahu
Sekali
lagi, beliau bukan seorang ustadz lebih-lebih seorang kyai. Bukan, beliau
bukan kedua-duanya. Wajahnya tenang, dan terlalu sering lebih tenang daripada
seorang ustadz. Kerut wajahnya terlanjur berwibawa, dan tak jarang wibawa itu
seperti seorang kyai. Kulitnya pun tak putih tapi aura cahaya rahman rahim
selalu bersinar. Tenang, wibawa, dan aura itulah yang membuatku semakin
memahami bahwa dia adalah orang yang sabar.
Kenanganku
mungkin tidak terlalu banyak dibandingkan dengan orang-orang yang sudah kenal
beliau jauh-jauh lebih lama daripada aku. Akan tetapi, tak apalah, bagiku
setiap moment pertemuanku sudah sangat luar biasa, sudah begitu berkesan, sudah
memberiku sebuah ibroh walaupun dengan obrolan-obrolan ringan. Aku merasa
menjadi orang yang luar biasa bisa kenal beliau, aku merasa menjadi orang yang
beruntung bisa kenal beliau. Beliau yang tak jarang memberikan suntikan
motivasi walaupun mungkin beliau tidak sadar, beliau yang memberikan pelajaran
hidup walaupun mungkin beliau hanya berbicara sepele, namun itulah yang menjadi
bekalku, sedikit atau banyak bekal-bekal itu mulai menggunung dan membuatku
semakin membuka bekal-bekal itu untuk memecahkan masalah-masalah yang
semakin komplit.
Keistiqomahan
yang diimbangi dengan kesabaran membuat sosok beliau jarang mengeluh, masjid
hidupnya, pasang surut jamaah masjid tak membuat beliau aras-arasen lebih-lebih mandeg. Tak semudah itu
beliau bertindak, tak sependek itu beliau berpikir. Kulihat kerutan wajahnya
yang semakin banyak, rasanya tak pernah sakit hati atau tersinggung orang ini.
Hebat. Subhanallah…
Begitulah
akung, mbah kung. Bukan aku mem-hiperbola-kan
tapi itu yang kulihat, tak kulebih-lebihkan. Akung, sosok itu selalu
membuatku rindu. Terkadang, saat kujenuh belajar kupandang mading (majalah
dinding) di kamar kostku, mading yang penuh dengan tulisan-tulisan motivasi,
catatan-catatan anatomi, farmakologi, virologi, parasitologi, bakteriologi
dan mikologi, helmintologi, protozoologi, entomologi, teknologi pakan hewan,
genetika hewan dll. Di antara tulisan-tulisan yang benar-benar berhasil
memeras otakku itu kemudian aku tersenyum melihat wajah-wajah yang selalu
mendukungku dan selalu kurindukan. Ya… foto-foto mereka seakan-akan menjadi
dosen yang menyenangkan diantara catatan-catatan bahasa latin -yang
seakan-akan membuat kepalaku pecah. Wajah-wajah itu pun seakan
tersenyum padaku dan berkata, “Ayo Nak belajar lagi.” Semangatku pun bangkit
lagi untuk belajar. Akan tetapi, sekejap
kupandangi lagi seluruh isi majalah dinding berwarna hijau berbahan styroform
itu. Terlihat di pojok kiri bawah, beliau masih tersenyum, bertopi, dengan kaos
hijau berdiri tegap. Akung, yang belum kulihat di antara wajah-wajah yang
sudah menyemangatiku, dengan cepat pun aku teringat kesabaran akung. Seakan-akan foto akung berkata, “Yo sabar, sinau yo.. mugo lancar success !” begitulah
kira-kira yang akung ucapkan.
***********
Liburan semester
1 kemarin aku menghabiskan liburanku di rumah, senang bisa menemani akung.
Hampir tiap hari aku sempatkan untuk berkunjung ke rumah beliau sampai suatu
ketika beliau merasa kurang fit, merasa kurang enak badan. Kupijat badannya
yang memang panas dingin. Dua hari beliau tidak ke masjid karena kondisinya
yang kurang baik. Kuharap akung segera sehat dan bisa kembali beribadah dengan
sempurna seperti sebelumnya. Akan tetapi, ternyata beliau terkena DBD (demam
berdarah dengue) dan harus dilarikan ke rumah sakit. Innalillah…
Jujur
kasihan melihat akung harus terbaring lemah di rumah sakit, sempat satu pagi
aku sendiri menemani akung. Kulihat raut wajahnya tanpa kacamata yang biasanya
melekat, rambutnya yang sudah putih, kulihat akung tidur menghadap samping
dengan satu tangan di bawah kepalanya, sedangkan tangan yang lain masih tak
bisa bergerak bebas karena terinfus, akung tertidur payah pagi itu. Tubuhnya
mengkerut seakan – akan kedinginan, kulihat selimutnya sudah membalut tubuh
akung tapi kakinya masih tak tertutupi. Selimut itu kupegang untuk kutarik
menutupi kaki akung, kupegang kakinya, dingin memang, kemudian kuurungkan
selimut itu menutupi kaki akung, kupijat dulu kedua kakinya mungkin bisa
sedikit mengurangi rasa dinginnya. Kupijat kaki beliau, kulihat parasnya masih
nyenyak tidur, kuambil selimut itu untuk membalut ujung kaki beliau yang
dingin. Lalu aku duduk kembali di kursi tamu, sejenak lagi memperhatikan nafas
perut beliau yang begitu pulas. Entah kenapa tak terasa air mataku meleleh
melihat pemandangan pagi itu.
Akung orang
hebat. Subhanallah… setelah beliau pulang dari rumah sakit, beliau harus
istirahat di rumah. Istirahat untuk memulihkan stamina dan kesehatannya, salut
tapi khawatir hanya beberapa hari akung di rumah kaki beliau sudah tak tahan
lagi untuk melangkah menuju baitullah, masjid tercinta Al – Ihsan.
Perjuangan
beliau untuk ngeramut masjid memang
pantas diacungi jempol, pantas untuk mendapat sambutan suara Allahuakbar untuk
mengundang semangat – semangat orang lain yang akan memakmurkan masjid.
***************
Lama sudah
aku tak pulang kampung, rindu berat pada akung.
Kukirim sms, “kung kangen
stadium 4.”
Kemudian dengan cepat beliau membalas, “Pulaaang.”
Niat untuk segera pulang
sudah tertancap, tapi selalu saja urung karena kesibukan kampus yang luar
biasa.
Satu ketika aku sms beliau, “Kung insya Allah tanggal 3 Januari insya
Allah pandu pulang.”
Namun tak kunjung ada balasan, dan ternyata ada kabar
kalau beliau sakit dan harus rawat inap di rumah sakit. Panik rasanya, ingin
cepat pulang, ingin segera ketemu akung. Tepat akhir tahun, tanggal 31 Desember
2010 aku mendapat kabar kalau beliau sudah pulang dari rumah sakit.
Alhamdulillah lega rasanya, lalu ku sms akung “Alhamdulillah, sudah di rumah ya
kung. Jaga kesehatan ya.”
beliau pun membalas, “Tahu dari siapa kamu? Kamu ndak pulang? Kujawab, “insya
Allah besok atau lusa pulang.”
Seminggu
ini, pagi – pagi setelah belajar aku ke rumah akung, sekedar menemani pagi
akung dan uti dengan candaan dan obrolan yang bagiku itu adalah hal istimewa
yang tidak akan pernah aku dapatkan dimanapun kecuali di rumah akung. Hanya
disana aku mendapatkan nuansa yang begitu berkesan, belajar kesabaran, belajar
untuk lebih dewasa, belajar untuk berpikir baik, belajar bagaimana bercanda dengan
orang – orang seumuran beliau.
Hahahaha…
mungkin aku sudah terlalu besar untuk bermanja – manja, tapi terkadang aku
sadar sepertinya aku manja ketika berhadapan dengan kedua orang itu, akung dan
uti. Ah tak apalah… aku sudah tidak punya orang seperti mereka, walaupun mereka
orang lain tapi sudah seperti mbahku sendiri. Malu kalau ingat. Ingat saat
kirim sms ‘kangen’ pada akung, karena mereka sebenarnya bukan siapa – siapa
tapi biarlah toh bagiku kini mereka
adalah siapa – siapa yang sedikit banyak memberiku pelajaran. Inilah takdir
Allah, tak pernah kutahu, tak pernah kusangka, siapa yang bisa menebak kalau
sekarang aku punya mbah lagi??? tak ada. Aku pun tak tahu. Alhamdulillah… aku
merasa menjadi orang yang paling beruntung, semangat itu kudapat dari energi –
energi ruh sepuh mereka. Akung uti.
Benar, rencana Allah. Rencana Allah itu lebih indah, indah,
indah pada waktunya. Hatiku terus memerintahkan,
“uskurillah wa tasbihahu.!!!” Kujawab, “yaa.. subhanallah wal hamdulillah.” Akung uti, membuatku terus bersyukur,
membuatku terus berdoa, berdoa untuk usianya agar lebih berkah, manfaat, dan berdoa
semoga usia beliau panjang. Kalaupun suatu saat nanti waktu akan berbicara
bahwa kami harus berpisah, ku masih berdoa dan berharap bisa bertemu di alam baru sana, di alam yang kekal, di alam
yang nyata, di alam yang penuh kebahagiaan. Akhirat.
Bertemu lagi dengan canda tawa seperti saat ini. Aamiin.