Laman

Selasa, 29 Mei 2012

Cerita Malam Anak Jalanan


gambar diambil dari blograkazakaria.blogspot.com
Tadi malam ketika saya pulang dari hiruk pikuk lautan manusia Pasar Malem Tjap Toendjoengan dan Surabaya Urban Culture Festival, sekitar jam 23.00 ada pemandangan kontras yang saya dapatkan di jalan. Pemandangan itu saya dapatkan di perempatan Fakultas Kedokteran Gigi UNAIR Kampus A, di tengah malam yang jalanan sudah semakin sepi masih saja di traffic light ada dua orang bocah menjajakan korannya. Mereka berselempang tas yang saya yakin tidak ada isinya kecuali sebuah harapan sebungkus nasi yang akan mereka dapatkan malam itu. Memprihatinkan memang, sedini itu mereka harus merasakan kerasnya kehidupan metropolis.

Yang saya heran si bocah laki-laki masih asyik berdiri sambil membelai rambut adik perempuannya dan berkata, “Sabar Dek, mangan kok, mangan,” sambil menunjuk perut adiknya dan melanjutkan, “Wes lemu ngene loh, mosok sek luweh?? Hahahaha.” Candanya membuat malam semakin kasihan pada mereka. 

Saya terhipnotis dengan situasi itu, mbrebes mili mata saya. Lampu hijau di depan saya kurang beberapa detik lagi,
mereka mendekati saya dan si bocah laki-laki berkata, “Motor e Mas e apik yoo, nggilap !!”
Saya yang nggumun akhirnya tersadar, lalu saya berkata, “Dek, iki onok rejeki sethithik tapi onok syarat e lhoo.”
“Opo Mas ?”
“Tapi janji kudu gelem dilakoni yooo?”
“Iyo Mas,” jawab mereka kompak dengan semangat.
“Maringene, tak ke’i dhuwek, kowe golek o maem, mari maem kudu sholat yoo, nyuwun nang Pengeran, Gusti Allah ben koranmu mene laris. Lek nyuwun nang Pengeran pasti diparingi.”
Mereka manggut-manggut sambil menerima sedikit rejeki yang kukeluarkan dari dompetku.

Lampu hijau sudah menyala, aku hentakkan gas Jupiter MX ku...
Dan mereka berteriak, “Suwuuuuun Mas, aku janji jange sholaaatttt!”



Rabu, 23 Mei 2012

"Ambil Dulu Kopyahnya !!!"

"Pulang !!! Ambil dulu kopyahnya !!!" Kata beliau dengan nada tinggi.

Hahaha... kalimat itu dialamatkan untukku ketika aku masih kelas 3 SMP sampai SMA jika aku lupa mengenakan kopyah saat sowan ke rumah guruku.

Sepertinya tidak ada hal yang mendasar dari perilaku memakai atau tidak memakai kopyah. Tidak ada ketentuan yang menjelaskan bahwa tidak mengenakan kopyah itu berdosa. Tidak ada yang pernah menerangkan bahwa berkopyah atau tidak berkopyah merupakan sebuah kewajiban atau bukan.

Akan tetapi, kalimat sengit yang diucapkan guruku bertahun-tahun lalu baru bisa dipahami akhir-akhir ini. Yaa ketika aku kuliah. Hal yang kutangkap dari hikmah berkopyah atau tidak adalah bagaimana kita bersikap kepada lawan bicara kita. Kalau kita membuat janji dengan teman-teman kita untuk hang out ke mall, pasti kita mempersiapkan penampilan kita, memakai baju yang catchy, bergaya trendy dengan semprotan parfum yang semerbak, atau mungkin memakai gincu yang merah bagi kaum perempuan. Nah, begitulah yang guruku maksudkan. Ketika seorang santri ingin bertemu dengan gurunya maka si murid harus memperhatikan penampilannya, sopan santun pakaiannya dengan menggunakan kopyah dan atau sarung. Penampilan murid bertemu dengan gurunya jangan pernah samakan dengan pertemuan murid yang akan bertemu dengan teman-temannya.

Cerita lain yang bisa dipetik dari kopyah adalah ketika aku harus hidup di kota besar semacam Surabaya, aku yang mulai memiliki lawan bicara dengan berbagai macam karakter sudah mampu untuk memperhatikan diri untuk berpenampilan. Tidak mungkin aku mengenakan sarung lalu ikut kongkow bersama teman yang necis abis di sebuah cafe. Tidak mungkin aku ke pondok dengan kaos oblong bergambar tengkorak plus skinny jeans. Tidak mungkin aku berkunjung ke ruang dekan menggunakan kaos, bercelana pendek, dan bersandal jepit.

Begitulah guruku mendidikku. Keras, tegas, tapi penuh hikmah. Hanya dari kopyah, pelajaran berharga yang bisa kuambil adalah 'Sudah pantaskah penampilan kita dengan orang yang akan kita temui ?'

Sabar

Begitulah sekiranya tulisanku kali ini, aku pun juga harus sabar untuk menulis tulisan ini, sudah semakin lama aku mengenal beliau, beliau yang kini kutahu memang benar, sabar adanya. Sabar dalam tiap langkahnya, sabar dalam tiap sikapnya, sabar dalam menunggu, sabar dalam menghadapi ujian-Mu, sabar dalam sabar. Ya begitulah, sabar dalam sabar, itu yang kutahu

Sekali lagi, beliau bukan seorang ustadz lebih-lebih seorang kyai. Bukan, beliau bukan kedua-duanya. Wajahnya tenang, dan terlalu sering lebih tenang daripada seorang ustadz. Kerut wajahnya terlanjur berwibawa, dan tak jarang wibawa itu seperti seorang kyai. Kulitnya pun tak putih tapi aura cahaya rahman rahim selalu bersinar. Tenang, wibawa, dan aura itulah yang membuatku semakin memahami bahwa dia adalah orang yang sabar.

Kenanganku mungkin tidak terlalu banyak dibandingkan dengan orang-orang yang sudah kenal beliau jauh-jauh lebih lama daripada aku. Akan tetapi, tak apalah, bagiku setiap moment pertemuanku sudah sangat luar biasa, sudah begitu berkesan, sudah memberiku sebuah ibroh walaupun dengan obrolan-obrolan ringan. Aku merasa menjadi orang yang luar biasa bisa kenal beliau, aku merasa menjadi orang yang beruntung bisa kenal beliau. Beliau yang tak jarang memberikan suntikan motivasi walaupun mungkin beliau tidak sadar, beliau yang memberikan pelajaran hidup walaupun mungkin beliau hanya berbicara sepele, namun itulah yang menjadi bekalku, sedikit atau banyak bekal-bekal itu mulai menggunung dan membuatku semakin membuka bekal-bekal itu untuk memecahkan masalah-masalah yang semakin komplit.

Keistiqomahan yang diimbangi dengan kesabaran membuat sosok beliau jarang mengeluh, masjid hidupnya, pasang surut jamaah masjid tak membuat beliau aras-arasen lebih-lebih mandeg. Tak semudah itu beliau bertindak, tak sependek itu beliau berpikir. Kulihat kerutan wajahnya yang semakin banyak, rasanya tak pernah sakit hati atau tersinggung orang ini. Hebat. Subhanallah…

Begitulah akung, mbah kung. Bukan aku mem-hiperbola-kan tapi itu yang kulihat, tak kulebih-lebihkan. Akung, sosok itu selalu membuatku rindu. Terkadang, saat kujenuh belajar kupandang mading (majalah dinding) di kamar kostku, mading yang penuh dengan tulisan-tulisan motivasi, catatan-catatan anatomi, farmakologi, virologi, parasitologi, bakteriologi dan mikologi, helmintologi, protozoologi, entomologi, teknologi pakan hewan, genetika hewan dll. Di antara tulisan-tulisan yang benar-benar berhasil memeras otakku itu kemudian aku tersenyum melihat wajah-wajah yang selalu mendukungku dan selalu kurindukan. Ya… foto-foto mereka seakan-akan menjadi dosen yang menyenangkan diantara catatan-catatan bahasa latin -yang seakan-akan membuat kepalaku pecah. Wajah-wajah itu pun seakan tersenyum padaku dan berkata, “Ayo Nak belajar lagi.” Semangatku pun bangkit lagi untuk belajar. Akan tetapi, sekejap kupandangi lagi seluruh isi majalah dinding berwarna hijau berbahan styroform itu. Terlihat di pojok kiri bawah, beliau masih tersenyum, bertopi, dengan kaos hijau berdiri tegap. Akung, yang belum kulihat di antara wajah-wajah yang sudah menyemangatiku, dengan cepat pun aku teringat kesabaran akung. Seakan-akan foto akung berkata, “Yo sabar, sinau yo.. mugo lancar success !” begitulah kira-kira yang akung ucapkan.
***********
Liburan semester 1 kemarin aku menghabiskan liburanku di rumah, senang bisa menemani akung. Hampir tiap hari aku sempatkan untuk berkunjung ke rumah beliau sampai suatu ketika beliau merasa kurang fit, merasa kurang enak badan. Kupijat badannya yang memang panas dingin. Dua hari beliau tidak ke masjid karena kondisinya yang kurang baik. Kuharap akung segera sehat dan bisa kembali beribadah dengan sempurna seperti sebelumnya. Akan tetapi, ternyata beliau terkena DBD (demam berdarah dengue) dan harus dilarikan ke rumah sakit. Innalillah… 

Jujur kasihan melihat akung harus terbaring lemah di rumah sakit, sempat satu pagi aku sendiri menemani akung. Kulihat raut wajahnya tanpa kacamata yang biasanya melekat, rambutnya yang sudah putih, kulihat akung tidur menghadap samping dengan satu tangan di bawah kepalanya, sedangkan tangan yang lain masih tak bisa bergerak bebas karena terinfus, akung tertidur payah pagi itu. Tubuhnya mengkerut seakan – akan kedinginan, kulihat selimutnya sudah membalut tubuh akung tapi kakinya masih tak tertutupi. Selimut itu kupegang untuk kutarik menutupi kaki akung, kupegang kakinya, dingin memang, kemudian kuurungkan selimut itu menutupi kaki akung, kupijat dulu kedua kakinya mungkin bisa sedikit mengurangi rasa dinginnya. Kupijat kaki beliau, kulihat parasnya masih nyenyak tidur, kuambil selimut itu untuk membalut ujung kaki beliau yang dingin. Lalu aku duduk kembali di kursi tamu, sejenak lagi memperhatikan nafas perut beliau yang begitu pulas. Entah kenapa tak terasa air mataku meleleh melihat pemandangan pagi itu. 

Akung orang hebat. Subhanallah… setelah beliau pulang dari rumah sakit, beliau harus istirahat di rumah. Istirahat untuk memulihkan stamina dan kesehatannya, salut tapi khawatir hanya beberapa hari akung di rumah kaki beliau sudah tak tahan lagi untuk melangkah menuju baitullah, masjid tercinta Al – Ihsan.
Perjuangan beliau untuk ngeramut masjid memang pantas diacungi jempol, pantas untuk mendapat sambutan suara Allahuakbar untuk mengundang semangat – semangat orang lain yang akan memakmurkan masjid.
***************
Lama sudah aku tak pulang kampung, rindu berat pada akung. 
Kukirim sms, “kung kangen stadium 4.” 
Kemudian dengan cepat beliau membalas, “Pulaaang.” 

Niat untuk segera pulang sudah tertancap, tapi selalu saja urung karena kesibukan kampus yang luar biasa. 

Satu ketika aku sms beliau, “Kung insya Allah tanggal 3 Januari insya Allah pandu pulang.” 

Namun tak kunjung ada balasan, dan ternyata ada kabar kalau beliau sakit dan harus rawat inap di rumah sakit. Panik rasanya, ingin cepat pulang, ingin segera ketemu akung. Tepat akhir tahun, tanggal 31 Desember 2010 aku mendapat kabar kalau beliau sudah pulang dari rumah sakit. 

Alhamdulillah lega rasanya, lalu ku sms akung “Alhamdulillah, sudah di rumah ya kung. Jaga kesehatan ya.” 
beliau pun membalas, “Tahu dari siapa kamu? Kamu ndak pulang? Kujawab, “insya Allah besok atau lusa pulang.”

Seminggu ini, pagi – pagi setelah belajar aku ke rumah akung, sekedar menemani pagi akung dan uti dengan candaan dan obrolan yang bagiku itu adalah hal istimewa yang tidak akan pernah aku dapatkan dimanapun kecuali di rumah akung. Hanya disana aku mendapatkan nuansa yang begitu berkesan, belajar kesabaran, belajar untuk lebih dewasa, belajar untuk berpikir baik, belajar bagaimana bercanda dengan orang – orang seumuran beliau. 

Hahahaha… mungkin aku sudah terlalu besar untuk bermanja – manja, tapi terkadang aku sadar sepertinya aku manja ketika berhadapan dengan kedua orang itu, akung dan uti. Ah tak apalah… aku sudah tidak punya orang seperti mereka, walaupun mereka orang lain tapi sudah seperti mbahku sendiri. Malu kalau ingat. Ingat saat kirim sms ‘kangen’ pada akung, karena mereka sebenarnya bukan siapa – siapa tapi biarlah toh bagiku kini mereka adalah siapa – siapa yang sedikit banyak memberiku pelajaran. Inilah takdir Allah, tak pernah kutahu, tak pernah kusangka, siapa yang bisa menebak kalau sekarang aku punya mbah lagi??? tak ada. Aku pun tak tahu. Alhamdulillah… aku merasa menjadi orang yang paling beruntung, semangat itu kudapat dari energi – energi ruh sepuh mereka. Akung uti. 

Benar, rencana Allah. Rencana Allah itu lebih indah, indah, indah pada waktunya. Hatiku terus memerintahkan, “uskurillah wa tasbihahu.!!!” Kujawab, “yaa.. subhanallah wal hamdulillah.” Akung uti, membuatku terus bersyukur, membuatku terus berdoa, berdoa untuk usianya agar lebih berkah, manfaat, dan berdoa semoga usia beliau panjang. Kalaupun suatu saat nanti waktu akan berbicara bahwa kami harus berpisah, ku masih berdoa dan berharap bisa bertemu di alam baru sana, di alam yang kekal, di alam yang nyata, di alam yang penuh kebahagiaan. Akhirat. Bertemu lagi dengan canda tawa seperti saat ini. Aamiin.

Haramkah Jual Beli Anjing dan Kucing ?

Tempo hari saya mendapatkan pelajaran yang mungkin belum dipahami oleh banyak orang terkait hukum jual beli hewan, khususnya hewan yang lucu ini : Kucing dan anjing.




Guru saya dawuh bahwa kucing itu dilarang untuk diperjualbelikan, haram hukumnya. Beliau menyuruh saya untuk mengingat-ingat lagi bahasan ngaji yang telah lalu di kitab Buluughul Maraam bab jual beli.

Untuk membuka memori saya terkait bab tersebut maka saya membuka kembali kitab peninggalan engkong saya, Allahu yarham Drs. Soekarto Kartosudirjo, M.Ng. yang beliau wariskan ketika saya masih duduk di bangku SMP. Dan apa yang saya temukan... taraaaaaa.....

Kitab ini masih pakai ejaan Indonesia lama, merupakan cetakan ketiga pada tahun 1969


hadist keempat yang berbunyi
Dari Abu Mas'u al-Anshory Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang mengambil uang penjualan anjing, uang pelacuran, dan upah pertenungan. (Muttafaq Alaihi.)

dan....

hadist kesembilan yang berbunyi
Abu al-Zubair berkata: Aku bertanya Jabir Radliyallaahu 'anhu tentang harga kucing dan anjing. Ia berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang hal itu. Riwayat Muslim dan Nasa'i dengan tambahan: Kecuali anjing pemburu.

Sepertinya di kampung dulu waktu ngaji bab ini saya tidak ikut ngaji, hehehe... tapi beruntung keinginan saya untuk membeli kucing beberapa bulan yang lalu belum kesampaian sehingga Allah Swt menegur saya melalu dawuh guru saya tentang perkara jual beli kucing dan anjing.

Lalu bagaimana cara kita mendapatkan kucing peliharaan yang cantik seperti kucing ras semacam Anggora atau Persia ?

The answer is.... mendapatkannya dengan cara BARTER dengan kucing kampung yang Anda punya, heheehe... atau berharap ada dermawan yang memberi Anda kucing ras yang cantik.

Lantas apakah petshop yang ada berarti haram ?

yang haram bukan petshopnya, kalau yang jual dan beli non muslim maka tidak masalah. Akan tetapi, kalau petshop tersebut menjual kucing dan anjing (penjual dan pembelinya muslim) maka sudah jelas haram. Sesuai dengan kedua hadist di atas.

Sooo, buat saya pribadi dan teman-teman yang mau berbisnis petshop jangan jualan kucing dan anjing yaaa... buka aja petshop yang menjual kuda, sapi, gajah, paus, atau jerapah. hehehehe

Wallahua'lam Bish Showwab

Selasa, 22 Mei 2012

SC-ers Vacation to Wonogiri


Jum’at, 27 April 2012 lalu keenambelas mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan yang tergabung di kelas SC berangkat bersama-sama dari terminal Bungurasih Surabaya dengan ‘joy long trip’nya menuju Wonogiri. Memang tidak semua SC-ers bisa ikut karena mereka yang berhalangan ada kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan. Mereka yang ingin bersilaturrahmi sekaligus berlibur di kampung Halaman Via a.k.a Bundo adalah Greggy, Andhika, Dewi, Diar, Tartila, Nourma, Lody, Ipang, Dimas, Vimala, Dian, Cahya, Nora, Broto, Jaja, dan Broto.

Perjalanan yang menghabiskan waktu kurang lebih 5 jam tersebut benar-benar terasa kebersamaannya, lebih tepatnya kerempongannya. Bayangkan saja, bus umum yang kami tumpangi menjadi seperti pasar sore karena kerempongan yang dipimpin langsung oleh Andhika. -___-‘a Pingin gak kenal Andhika rasanya waktu itu.. :P

Singkat cerita, kami tiba di rumah Bundo jam 8 malam, bertepatan dengan pageleran Indonesian Idol digelar di tivi. Hehehe... 

Sebenarnya ingin kupanjang-panjangkan cerita ini, tapi berhubung ada cerita yang perlu disensor maka dikhawatirkan ada pihak yang kurang berkenan. :PP Langsung dinikmati fotonya saja yaaa... 3 hari yang melelahkan tapi mengesankan, terlalu manis untuk dilupakan kalau kata mas Kaka Slank

Bersama Shohibul Bait


Rempongnya SC-ers di bus umum
Tempe Mendoan khas Wonogiri


Menu Favorit

Di Meja Bundar Ini Kita Bersenda Gurau

Menjelang Trip Pantai Klayar

Ternyata kalau tidur jelek semua

Sholat dulu tjuuk

Tiba di Pantai Klayar langsung foto bareng

Gak nemu gaya lagi

Mbak Finalis Putri Indonesia Jatim

Korban Sukhoi yg terdampar di Pantai Klayar

Katanya sih anak ini jomblo afkir v^^

maksa minta difotoin pake kameraku
Chalenges way

Mendaki gunung lewati lembah

Mbak Putri Blora, beda yaa dengan mbak putri Indonesia gaya fotonya

Gadjah Mungkur entrance

Senja di Gadjah Mungkur

Guru


Kalau orang bijak bilang ‘pengalaman adalah guru yang terbaik’, saya setuju-setuju saja tapi ada hal yang tak tergantikan dari sosok guru yang sebenarnya, perawakan guru yang benar-benar digugu lan ditiru. Saya bersyukur sekali memiliki guru-guru yang laku amalnya becik dan pantas untuk diteladani.

Sebelumnya, saya tidak pernah menyadari kalau salah satu guru terbaik saya adalah Bapak saya sendiri, mungkin karena dulu jarang merenung ya. Kini saya menyadari kalau beliau itu mendidik saya dengan usaha yang nyaris sempurna agar saya menjadi anak yang diidam-idamkan kesholihannya. 

Ikhtiar beliau saya perhatikan ketika saya pulang kampung akhir pekan yang lalu. Pendidikannya tidak menggurui, nuturi, dan ngotot tapi lebih ke arah diskusi. Berdiskusi tentang budaya kearifan lokal, how to be a leader, fenomena pendidikan, bagaimana berinteraksi dengan orang lain, kepemerintahan, negara, masa depan, dan juga termasuk urusan jodoh. Benar, bapak saya bukan dari kalangan santri yang jago dalam bidang agama, tetapi bagi saya rasa sosial bapak saya dalam berakhlak tidak kalah dengan lulusan pondok pesantren. 

“Sudahlah Nak, tak perlu kau ikut organisasi kemasyarakatan semacam NU atau Muhammadiyah apalagi yang lain, biarkan darah NU-mu mengalir dalam amal laku sehari-hari. Saat ini bukan ‘jaminan’ menjadi pengurus organisasi masyarakat sekalipun berbasiskan Islam, justru sudah banyak contohnya yang dari pengurus ormas, eh... sekarang menjadi tokoh panutan koruptor negeri ini. Menjadi pengurus rukun kifayah insya Allah lebih baik, mengurus jenazah dan menghibur keluarganya dengan tahlilan.”

Weww... tajam tapi faktual !!!

Mimpi Besar untuk Bondowosoku

Masjid Agung At-Taqwa Bondowoso

Alhamdulillah... kerinduanku pada tanah kelahiran akhirnya sudah terbayarkan. Meminjam kalimat Syahrini, tiga bulan tidak pulang kampung itu ‘sesuatu ya’. Sudah barang tentu bocah sepertiku dirindukan orang tuanya dan kampung halamannya. ‘Hambar rasanya tanpa dirimu,’ begitu kata Bondowoso. Hahaha

Keasrian kota yang mempesona, originalitas hawa udaranya yang khas, ketentraman penduduknya yang menenangkan jiwa, keelokan budaya saling menyapanya masih melekat. Yaa itulah alasan mengapa saya cinta Bondowoso.

Guru besar saya pernah bercerita, “Saya ini bukan asli Bondowoso, tapi saya cinta Bondowoso. Sekarang kita lihat pembesar-pembesar masjid agung, adakah yang asli Bondowoso ? Bupatinya ? dan Pejabatnya ? Saya punya harapan besar di masa depan, Bondowoso menjadi besar karena orang-orang Bondowoso sendiri.”

Monumen Gerbong Maut Bondwoso
Benar juga, pembesar-pembesar perintis masjid agung sepertinya sedikit sekali yang asli Bondowoso, dari nama-nama berikut, almaghfurlah KH Masrur Masyhud, almaghfurlah KH Qusyairi Mahfudz, KH. Imam Barmawi Burhan, KH Achmad Sodiq, KH. SA Hodari, KH Kholiel Syafi’ie, KH. Siddiq, yang saya tahu hanya KH Siddiq yang asli Bondowoso. Tiga bupati terakhir yang saya tahu juga bukan asli Bondowoso. Pejabat-pejabatnya juga demikian, yang saya tahu asli Bondowoso juga hanya sedikit.

Dawuh guru besar saya bertahun-tahun yang lalu itu ternyata baru menjadi sebuah renungan ketika saya saat ini secara tidak langsung ‘dipersiapkan’ untuk menyongsong majunya Bondowoso. Yaa menjadi mahasiswa adalah mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin dan penerus tongkat estafet perjuangan bangsa ini. Memang saya juga punya mimpi besar untuk kembali ke Bondowoso setelah lulus nanti, membesarkan Bondowoso dengan kehijauan sawahnya, membirukan Bondowoso melalui Sampeyan Barunya, dan membersihkan Bondowoso dengan budaya kearifan lokalnya. Ada cita-cita besar yang ingin saya tunaikan dengan eksistensi saya sebagai dokter hewan esok. Mewujudkan Bondowoso yang tidak kebarat-baratan, yang tidak terjajah teknologi namun tak buta teknologi, mewujudkan Bondowoso yang sehat, melestarikan potensi SDA semacam Kawah Ijen, Tancak Kembar, dan persawahan Bondowoso, serta merealisasikan peternakan hewan besar yang saya rasa cocok untuk diwujudkan di tanah semacam Bondowoso.

Azam itu sepertinya indah ketika sudah benar-benar terjadi, lebih indah lagi ketika saya membangunnya dengan putra daerah lainnya. Bersama teman-teman saya yang lulusan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Teknologi, Pertanian dan Teknologi Pertanian, Fakultas Pendidikan Agama Islam, Planologi, Kebidanan, Statistik, Kehutanan, jurusan lainnya dan teman-teman daerah yang mondok dengan sungguh-sungguh di Pesantren semisal Nurul Jadid, Sidogiri, Gontor, Lirboyo, Tebu Ireng, Darul Ulum, dan lain-lain.

Kalau dulu peradaban Kanjeng Nabi adalah peradaban manusia yang madani, maka saya ingin setidaknya peradaban Bondowoso di masa mendatang mendekati madani, madani yang tetap berasaskan Pancasila, UUD 1945 Non Amandemen, dan kearifan lokal yang murni.