Laman

Kamis, 28 Juni 2012

Gara-gara Pertamax


Hari ini ada peristiwa yang mengingatkan saya pada peristiwa konyol dulu. Kejadian yang mengingatkan saya adalah ketika tadi siang saya mengisi premium si MX. Ada mbak-mbak mengisi scoopy putihnya dengan pertamax.

Ya... poin yang mengingatkan saya pada tragedi konyol saya tempo dulu adalah pertamax. Saya punya pengalaman pahit yang sedikit menggelikan tentang pertamax. Waktu saya kelas 1 SMP suka sekali dengan balapan liar, tapi bukan saya jokinya, saya hanya ikut senang-senang berkumpul dengan teman-teman.

Suatu ketika, motor teman saya yang biasa dipakai untuk tarung (balapan) sudah dimodifikasi sedemikian rupa, sudah distel jagoan. Kami sudah mempersiapkan uang patungan untuk taruhan dengan lawan kami. Saya masih ingat motor yang dipakai tarung adalah motor modifikasi Shogun 110 cc berwarna biru, karena kami yakin menang kami tantang lawan dengan memaasang taruhan tinggi. Seketika dengan keyakinan teguh ibarat ketauhidan pada Tuhan sudah ma’rifat kami sampai lupa diri kalau ternyata motor Shogun biru itu akan lebih kencang jika diisi pertamax.

Pertamax saat itu belum berserakan di setiap terminal BBM seperti sekarang. Bondowoso masih tidak punya pertamax. Pertamax menjadi hal yang dielu-elukan, menjadi hal yang dipuja-puja nilai oktannya, menjadi hal yang bisa membuat pertarungan berakhir kemenangan, seakan-akan hanya pertamax yang esa, hanya pertamax tempat si biru dan tuan-tuannya berjaya.

Masih ingat di kepala saya, hari itu hari Rabu. Untuk kelas 1 SMP sekolah saya punya kebijakan bahwa kelas 1 masuk siang, jam 12.30. Otomatis untuk persiapan balap liar hari Minggu kami harus mendapatkan pertamax sebelum hari H. Akhirnya, hari Rabu itu juga saya dan teman saya (Guruh, owner Suzuki Shogun 110 cc modif) berangkat ke Jember menggunakan motor Vega-R abu-abu untuk membeli pertamax dengan membawa dua buah jurigen 5 liter (tempat minyak tanah/bensin). Di Jember pun, fuel station yang menjual pertamax hanya 1 (saya agak lupa kalau tidak di daerah Tegal Gedhe ya di Tegal Besar).

Walhasil bagaimana ?? Dalam perjalanan mencari pom bensin Tegal Besar kami sempat kebingungan, maklum bukan orang Jember. Tanya kiri, tanya kanan jalanan menuju Tegal Besar ternyata di Jalan Trunojoyo malah ada polisi mepet motor kami dan kulo nuwun untuk dengan hormat mempersilahkan kami minggir sebentar. Jelasnya, kami ditilang gara-gara motor Vega abu-abu kami bannya kecil, tidak standar. (kalau ingat, Ya Allah gehoooll beud yaaa motor Vega itu.hahahaha).

Hari semakin panas, semakin siang. Semakin dekat juga dengan jam masuk sekolah. Akan tetapi, ada rasa syukur saat itu, walaupun ditilang tiba juga di terminal BBM Tegal Besar. ‘Pertamax, We’re coming !!!’ kira-kira begitu yang kami ingin katakan. Baru tiba di depan fuel counter karyawannya bilang, “Waduh Mas kalau pertamax kita kosong, kirimnya dari pusat seminggu sekali juga belum tentu.” 

Helm cebok (red: Madura, Indonesia : gayung mandi) putih yang dengan tempelan bermacam-macam stiker yang menjadi tren kala itu rasanya tidak ada di kepala. Gobyos dari kepala sampai ke punggung. Muspro.
 
Dengan sok berbesar hati kami pulang dan saya dibonceng dengan tetap membawa dua buah jurigen kosong di kanan dan kiri. It’s okey. Jam menunjukkan pukul 11.30 dan kami masih di Jember. Kami tidak boleh terlambat, karena jam pertama adalah mata kuliah Bahasa Inggris yang dipegang oleh guru yang terkenal killer (disiplin lebih tepatnya) di mata siswa : Ibu Indrajani. Werrr... sepanjang perjalanan ada suara harapan ‘Semoga gak telat Ya Allaaaaaahh...’

Laju Vega kami harus terhenti di traffic light Patrang. Sejenak ambil nafas karena sepanjang perjalanan Guruh memompa gas hingga 100 km/jam. Tapi ternyata nasib sial sepertinya sedang mengikuti kami. Beruntung kaki saya ada di foot step karena kaki Guruh yang sedang menapak di aspal harus terlindas oleh ban depan-belakang sebuah angkot yang di dalamnya ada sekitar empat orang cewek ABG. ‘Aauuuuuuuuuuugghhh... jancok, jangkrik, matane picek, patek, moseng, taho, temancok !!!’ saya hanya tertunduk, antara tertawa dan prihatin. Prihatin karena seisi angkot mentertawakan teman saya.

Syahdan, kami tiba di rumah jam 12.15 harus mandi ektra cepat, sholat Dhuhur tipe patas, dan ternyata kaki Guruh bengkak bukan main seperti kaki yang terserang chikungunya stadium ringan. Dan ending dari cerita ini, kami telat. Mendapat pencerahan (lebih tepatnya dimarahi, hehe) dari guru terdisiplin tahun itu di depan seluruh kelas 1A. Dan pertarungan si biru hari Minggu pun tidak manis, kami kalah. Ditambah lagi ketika pulang balapan di waktu Maghrib. Shogun yang baru nangkring di teras rumah Guruh harus hancur karena Bapaknya menendang keras-keras si biru yang dimodif tak karuan. Stel balap mameeen.. hohoohoho

Tidak ada komentar:

Posting Komentar