Beberapa tahun yang lalu mereka yang tinggal di daerah mempunyai mimpi yang besar untuk bisa melanjutkan jenjang pendidikan tinggi di kota-kota besar lagi metropolis. Mereka memiliki keinginan yang mulia untuk berkuliah di seantero metropolitan semacam Surabaya, Semarang, Bandung, Yogyakarta, dan Jakarta karena memang tidak dipungkiri jika beberapa kota tersebut memiliki daya saing pelajar yang lebih baik dibanding di daerah, lebih-lebih daerah kecil yang tidak memiliki perguruan tinggi negeri.
Mimpi itu berlanjut menjadi angan-angan : 'Andai saya hidup di kota besar saya akan lebih mudah mencari akses tempat hiburan semacam timezone, cafe dengan live musicnya, mall dengan kegagahan gedung megahnya, brand-brand internasional semacam Romberg, Adidas, atau Pierre Cardin, santapan-santapan lezat juga dengan mudah bisa saya dapatkan, seperti McDonalds, KFC, Hoka hoka Bento, aneka steak dan Pizza Hut. Di kota besar saya juga bisa lebih maju karena canggihnya teknologi akan silih berganti setiap saat dengan cepat, di kota besar saya akan lebih menjadi orang yang terlihat cerdas karena kemana-mana saya harus bersepatu, berjalan di antara gedung-gedung pencakar langit yang berlantai-lantai, industri dan pabrik raksasa bisa membuat saya berpikir lebih encer karena dengan mudah saya bisa bemain kesana untuk mengetahui bagaimana sistem teknologi yang ada di dalamnya.'
Setidaknya, itulah gambaran yang ada di pikiran perantau pemula yang akan membuat mereka satu langkah atau bahkan beberapa langkah lebih maju dibanding teman-teman mereka yang berada di daerah.
Lain ladang, lain ilalang. Sayangnya, orang daerah biasanya sulit beradaptasi dengan kondisi metropolis yang sebagian besar pragmatis, apatis, dan egois. Butuh kekuatan dan mentalitas yang tangguh bagi perantau untuk menghadapi orang-orang kota. Hanya saja, sepertinya sudah menjadi fitrah orang daerah yang tidak bisa lepas dari gotong royong, kerjasama, dan norma kesopanan, maka benar juga jika orang daerah risih dengan ketidakramahan. Ketidakramahan manusia-kota atau lingkungannya. Perantau jenuh dengan lingkungan erotis tak santun, pusing dipusingkan kekerasan dan kriminalitas di sudut-sudut kota, sesak dengan polutan-polutan berbahaya yang mereka hirup setiap hari, geram dengan suara-suara bising jalanan yang selalu padat merayap tak sabar untuk saling mendahului, mata terasa perih ketika hanya jarak beberapa kilometer cerobong asap pabrik membuat langit menjadi mendung.
Orang daerah belum cocok dengan kondisi demikian. Lingkungan yang terasa tidak rahmatan lil 'alamin, lingkungan yang serasa tidak pernah tau bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman, lingkungan yang pura-pura tidak tahu kalau pohon rindang sebagai sumber oksigen, lingkungan yang seakan-akan tidak pernah membutuhkan air besih menyehatkan.
Kini di saat perantau-perantau itu teringat kampung halaman mereka yang adem ayem tentrem, yang lebih menjelaskan gemah ripah loh jinawi-nya INDONESIA mereka bersenandung 'lebih baik disini, rumah kita sendiri'.
Akhirnya, mereka berazam, "Aku akan menjadi orang sukses di kota. Menjadi sarjana, magister, doktor, bahkan proffesor untuk kembali ke kampung dan mewujudkan daerahku : maju teknologinya, bersaing SDMnya, artistik tata kelola bangunannya dan dinanti peradabannya dengan tetap terintegrasi dengan lingkungan, sehingga daerahku maju berbasis ramah lingkungan. Tidak seperti metropolis !"
Akhirnya, mereka berazam, "Aku akan menjadi orang sukses di kota. Menjadi sarjana, magister, doktor, bahkan proffesor untuk kembali ke kampung dan mewujudkan daerahku : maju teknologinya, bersaing SDMnya, artistik tata kelola bangunannya dan dinanti peradabannya dengan tetap terintegrasi dengan lingkungan, sehingga daerahku maju berbasis ramah lingkungan. Tidak seperti metropolis !"
(foto : SS Bondowoso and google exploring)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar