Sore tadi saya sempat menuliskan kicauan pada akun twitter saya, "Kangen Mbah Ampel." Alhamdulillah, rencana dadakan karena rasa rindu yang sudah membuncah di dada ini, selepas Maghrib saya sempatkan untuk memacu gas Jupiter MX saya menuju pesarean salah satu pembabat Islam tanah Jawa.
"Duh Gusti," batin saya saat memasuki parkir sepeda motor. Trenyuh rasanya ternyata saya sudah tidak sowan sekitar tiga bulan. Ahad malam ini saya seperti bernostalgia lagi dengan Mbah Ampel, para pelayan, peziarah, pedagang pasar, dan suasana khas di lingkungan makam. Ya saya serasa masuk pada sebuah alat yang bernama mesin waktu, berputar mundur pada detik-detik empat tahun lalu, saat saya baru menginjakkan tanah yang berusia 720 tahun ini. Hampir di setiap Sabtu pagi selepas Subuh atau Senin menjelang Maghrib saya berziaroh ke pesarean Sunan Ampel untuk mengaji dan mengingat mati. Duduk bersila di deretan paving yang tersusun rapi tanpa beralaskan tikar di bawah rindangnya pohon kudu. Ya, nikmat rasanya mengaji, bertawassul, dan menghirup udara pagi di pemakaman ini. Atau saat malam Jum'at, yang selalu lebih ramai dibanding pagi hari, membaca Ya Sin, tahlil, dan sholawat yang bersahut-sahutan membuat telinga ini terpekak, bulu kuduk merinding, dan hati tergetar. Mereka yang seiman begitu khusuk melantunkan asma-asma dan kalimat-kalimat baik di bawah pekatnya malam. Suasana begitu yang memunculkan rasa harap-harap cemas terhadap kematian. Saat itu pula ada kerinduan bertemu Sang Rabb, kekasih-Nya : Sang Muhammad, para sahabat, dan waliyullah seperti Mbah Ampel.
Mungkin kegiatan seperti ini tidak diterima oleh beberapa orang, namun saya tetap meyakini bahwa mereka yang sudah wafat sejatinya tetap hidup. Raga dan jiwanyalah yang berpisah. Itu saja. Ruh tetap ada, karena tak jarang mereka hadir berkunjung pada kita yang masih hidup di dunia. Mendoakan mereka yang tiada adalah satu hal yang tidak ada salahnya, berkomunikasi dengan mereka yang sudah tidak hidup di dunia juga tidak ada salahnya. Hal paling sederhana : menyebut namanya dan mengirimkan Al Fatihah adalah satu perbuatan yang saya yakini tidak akan sia-sia. Masih tergambar jelas di kepala saya dan saya simpan baik-baik pesan itu, "Lanjutkan kebiasaanmu berziaroh Nak, karena keluargamu yang wafat turut senang."
Malam ini saya merasa tertegur, hampir saja saya meninggalkan kegiatan ziaroh yang dulunya menjadi kebiasaan. Ah.. untung saja Allah Swt menganugerahkan saya kerinduan pada Mbah Ampel, kalau tidak mungkin saya akan menjadi kacang yang lupa pada kulitnya, yang belum tahu juga kalau rasa kangen itu tidak ada tadi sore kapan saya akan bersilaturrohim pada wali yang punya nama asli Raden Rahmat. Matursembah nuwun Gusti.