Laman

Rabu, 25 September 2013

Tauhidku Ditegur

Tersebab proses yang baik adalah hal yang mulia. Begitu pula yang kudapati dari kisah orang-orang sholih di sekitarku dalam mencari pendamping hidupnya. Bertahan dalam kesendirian yang mulia menjadi pilihan sampai menemukan pujaan hati yang benar-benar jodoh, istri. Sabar di tiap langkah sambil berikhtiar dan mensholihkan diri mendapatkan hasil terbaik menurut-Nya, karena mereka yakin lelaki baik untuk perempuan baik begitu pula sebaliknya. Lantas, bagaimana denganku? Oh Tuhan, ternyata iman dan tauhid ini masih perlu dikokohkan lagi, ada hal-hal yang tidak bisa terkesampingkan selain menggunakan akal padahal pikiran itu seharusnya tidak perlu ada, karena Dia sudah mengatur rizki tiap makhluk-Nya.

Terlalu mengikuti tren dan perkembangan zaman sepertinya ada hal yang menempel secara tidak sadar di alam bawah sadarku, menjadi materialistis dan kapitalis secara perlahan-lahan. Astaghfirullah. Padahal tidak semua kebahagiaan itu bisa diukur dengan materi, sepertinya aku pantas mendapatkan teguran ini, Oh Rabb... keterlaluan sekali sepertinya, sampai-sampai salah orang guruku berkata, "Astaghfirullah... Pan... Pengeran sing mbandani, Pengeran sing njamin." Tertohok rasanya, tapi memang benar adanya. Aku masih sering mengedepankan uang daripada rizki yang suah Dia janjikan melalui berbagai perantara. Astaghfirullah...

Yakin dalam hati sebagai bentuk iman dan mentauhidkan Allah ta'ala ditambah emosional serta perasaan yang di bawah naungan cinta-Nya adalah salah satu modal menuju proses mendapatkan hasil yang baik, jodoh. Kalau tauhid goyang sedikit saja, bisa bahaya. Proses bisa rusak dan hasil bisa tidak Dia ridhoi. Na'udzubillah...

Oh Robb... Tunjukilah kami jalan yang lurus

Senin, 23 September 2013

Catatan Sebelum Tidur

Sore,
Tadi aku ceritakan kamu pada seorang yang sudah seperti bapakku sendiri? Lho kenapa bukan langsung cerita pada bapakku sendiri? Aku sedikit canggung untuk membicarakanmu di depan kedua orang tuaku. Belum saatnya. Ini kan belum start lebih-lebih putaran pertama. Aku ceritakan kamu kepada guru yang sudah akrab kupanggil ayah. Aku bercerita sekilas tentangmu, beliau tersenyum, tertawa, dan banyak memberikan tanggapan tentangmu. Tanggapan yang tidak bisa dinilai, tapi cukup membuatku berpikir untuk bertindak. Sentilan cukup keras justru bukan padamu tapi padaku sebagai seorang lelaki. Yaaa... lelaki, makhluk yang akan membimbingmu. Intinya, sabar.

Malam,
Aku tahu jadwal selesai mengajar ngaji diniyah, sekitar pukul 20.00. Kucoba telepon dan singkat kubertanya bagaimana harus beristikhoroh yang afdol. Beliau menjawab dengan penjelasan yang sangat bisa kupahami. Aku merasa tak cukup dengan kode, kusmskan cerita tentangmu pada beliau. Siapa beliau? beliau adalah guruku yang lain, yang lebih paham siapa aku, yang di setiap langkah pentingku selalu kuajak mempertimbangkan. Termasuk tentangmu. Beliau bertanya padaku, "Hal yang kau pentingkan sekarang apa?" kujawab aku ingin menjadi dokter hewan yang sukses dulu, beliau menyetujui dan mengangkat jempol untuk jawabanku. Lalu kutanyakan lagi sesuatu tentangmu, kali ini beliau mempersilahkanku untuk bersabar, sama seperti orang yang kupanggil ayah. Cukupkah sampai disini ceritaku denganmu? Beliau berpendapat, "Kalau apa yang kalian perbincangkan tentang agama Ustadz setuju. Jangan pernah membahas masa depan dulu dengannya, belum sekarang, jangan berbicara hal yang privasi, belum saatnya. Paham?" lalu beliau menutup dengan kalimat, "Ingat kalau Pandu dalam berinteraksi menimbulkan syahwat dan fitnah berarti Pandu melanggar dan berdosa, salah satu saja muncul maka juga berdosa Nak."

Kamu. 
Kalau aku bersabar, semoga Ar Rahman juga membuatmu sabar. :) aaaamiiin...
Tuhan punya kuasa agar makhluk-Nya tidak berkehendak sebelum saat yang tepat.
Sabar menjadi kunci karena ini proses yang harus aku lewati, juga (mungkin) kamu :)

Kamis, 19 September 2013

Saudaraku... Berceritalah, Aku Akan Mendengarmu

Nafsi-nafsi. Setiap orang punya jalan pikirannya sendiri, tidak perlu dipaksa atau memaksa. Cukuplah berpendapat jika diminta. Cukuplah bersaran jika diminta karena sejatinya tiap orang punya takdirnya sendiri-sendiri yang tidak akan pernah sama dengan lainnya. Memilih diam atas kejanggalan yang terjadi pada saudara kita juga sebuah keputusan yang sah, namun manusia itu makhluk sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Menjadi aneh jika seseorang tidak peka dengan apa yang tidak biasa terjadi pada saudaranya, atau mungkin lebih aneh lagi jika seseorang tersebut terlalu ingin tahu apa yang sedang dialami saudaranya?

Saudaraku, engkau boleh punya zona aman versimu. Itu sah dan halal. Apapun yang kau jalani sekarang semuanya sah karena itu adalah hakmu. Akan tetapi coba kau perhatikan saudaramu yang mempunyai hak untuk mendapatkan kabar darimu sebagai seorang saudara. Hak saudaramu adalah kewajibanmu yang harus kau tunaikan. Kami rindu padamu. Kau tidak perlu berprasangka macam-macam padaku tentangmu. Aku percaya dan aku tidak pernah meragukan keimananmu. Sampai kapan kau begini? tanpa kabar atau bahkan mungkin doa-doa yang terpanjatkan sudah tidak tersimpul manis seperti dahulu? Na'udzubillah... sayang sekali jika demikian.

Saudaraku, memang kebaikanmu itu kau sendiri yang menentukan.
Walaupun biasanya aku yang berpanjang lebar berkisah, kini engkaulah yang berkisah. Saudaraku, berceritalah, barang sejenak aku akan mendengarmu.

Selasa, 17 September 2013

Halo... sedang apa disana?

Halo... sedang apa disana? aku merindu malam ini, merindu padamu kekasih. Rindu yang biasa saja sebenarnya, namun akan menjadi luar biasa jika kamu membalas salam rindu ini dengan sekejap saja. Istimewa sepertinya.

Halo... sedang apa disana? aku tak bisa tidur malam ini, tapi bukan karenamu. Ujian lisan farmasi besok yang membuatku harus terjaga membuka lembaran kertas putih dengan sampul hijau karya Prof. Nanizar Zaman. Akan tetapi, kalau kamu mau datang malam ini, mungkin tak bisa meremku karena berdiskusi denganmu, kita berbicara masa depan yang riil.

Halo... sedang apa disana? ini bukan tulisan ilmiah yang bisa dibuktikan dengan fakta. Namun jika malam ini kamu merasa, semuanya akan nyata kalau berbicara tanpa alat komunikasi bisa dilakukan. Iya, nyata kalau heart to heart itu suatu hari bisa ilmiah.

Halo... sedang apa disana? jari-jari ini absurd, mengetikkan kata per kata hanya untuk mengisi catatan bulan ini yang masih satu. Namun jika kamu tiba-tiba mengirimkan pesan lewat apapun itu rasanya tulisan ini akan membuktikan semuanya tentang rasa.

Selasa, 03 September 2013

Testimoniku Untuk Gurunda

Aku yang di bulan Maret hampir lumpuh bahkan mati. Terselamatkan karena Sang Khalik mengirimkan alur yang sangat indah dalam memberikan pertolongan-Nya untukku. Tiga orang malaikat selain kedua orang tuaku menjadi lantaran aku bisa berdiri sampai detik ini. Ustadz Taufiq, Pak Hasan, dan Abuya Luthfi, mereka orang-orang yang Allah berikan untukku agar aku bisa berjuang hidup menyelesaikan studi S1 di saat aku terpuruk jatuh dalam kondisi lemah tak berdaya. Ada hal yang tak bisa kuutarakan disini, tapi yang jelas mereka bertiga mengantarkanku hingga aku bisa lulus di program sarjana. Ada kalanya aku harus bersyukur tanpa harus berbasa-basi atas apa yang kulakukan. Bersujud syukur langsung tanpa pikir panjang atas anugerah ketiga orang itu.

Ustadz Taufiq, beliau guru ngajiku sejak 2004 silam yang ternyata dalam perjalanan hidup sampai saat ini begitu peduli padaku. Terlalu banyak jasa dan nasihat yang beliau berikan untukku hingga aku berdiri menjadi seorang calon dokter hewan. Terlalu sering beliau membuatku berbesar hati atas apa-apa yang menurutku mengecewakan. Selalu ada hikmah yang terucap dari lisannya. Keras cara mendidiknya tapi terasa betul manfaatnya. Ah... tak tahu apa yang harus kupersembahkan untuknya, mungkin menjadi murid yang baik adalah satu hal yang beliau suka. Maklum aku tidak dibesarkan di lingkungan pesantren jadi walaupun beliau sering menganggapku santri, aku adalah santri yang mbeling. Tidak berakhlak. Entahlah, sudah lama aku bertanya dalam benak 'sampai kapan jadi murid seperti ini?' tapi kali ini sudah kubulatkan azam, satu tahun lagi aku pulang dengan perubahan yang akan membuat Ustadz Taufiq tersenyum, dan berkata 'Alhamdulillah, ini baru namanya santri!' amien...

Ustadz... nasihatmu malam ini sungguh berarti, terima kasih sudah mengizinkanku mencium punggung tanganmu dan kudekap tubuh wibawamu yang akan kurindu setahun ke depan ini.

Hope will meet there, Jannah...