![]() |
Ya...
poin yang mengingatkan saya pada tragedi konyol saya tempo dulu adalah
pertamax. Saya punya pengalaman pahit yang sedikit menggelikan tentang pertamax.
Waktu saya kelas 1 SMP suka sekali dengan balapan liar, tapi bukan saya
jokinya, saya hanya ikut senang-senang berkumpul dengan teman-teman.
Suatu
ketika, motor teman saya yang biasa dipakai untuk tarung (balapan) sudah dimodifikasi sedemikian rupa, sudah distel jagoan. Kami sudah mempersiapkan
uang patungan untuk taruhan dengan lawan kami. Saya masih ingat motor yang
dipakai tarung adalah motor modifikasi Shogun 110 cc berwarna biru, karena kami
yakin menang kami tantang lawan dengan memaasang taruhan tinggi. Seketika
dengan keyakinan teguh ibarat ketauhidan pada Tuhan sudah ma’rifat kami sampai
lupa diri kalau ternyata motor Shogun biru itu akan lebih kencang jika diisi
pertamax.
Pertamax
saat itu belum berserakan di setiap terminal BBM seperti sekarang. Bondowoso
masih tidak punya pertamax. Pertamax menjadi hal yang dielu-elukan, menjadi hal
yang dipuja-puja nilai oktannya, menjadi hal yang bisa membuat pertarungan berakhir
kemenangan, seakan-akan hanya pertamax yang esa, hanya pertamax tempat si biru
dan tuan-tuannya berjaya.
Masih
ingat di kepala saya, hari itu hari Rabu. Untuk kelas 1 SMP sekolah saya punya
kebijakan bahwa kelas 1 masuk siang, jam 12.30. Otomatis untuk persiapan balap
liar hari Minggu kami harus mendapatkan pertamax sebelum hari H. Akhirnya, hari
Rabu itu juga saya dan teman saya (Guruh, owner Suzuki Shogun 110 cc modif)
berangkat ke Jember menggunakan motor Vega-R abu-abu untuk membeli pertamax dengan
membawa dua buah jurigen 5 liter (tempat minyak tanah/bensin). Di Jember pun,
fuel station yang menjual pertamax hanya 1 (saya agak lupa kalau tidak di
daerah Tegal Gedhe ya di Tegal Besar).
Walhasil
bagaimana ?? Dalam perjalanan mencari pom bensin Tegal Besar kami sempat
kebingungan, maklum bukan orang Jember. Tanya kiri, tanya kanan jalanan menuju
Tegal Besar ternyata di Jalan Trunojoyo malah ada polisi mepet motor kami dan kulo
nuwun untuk dengan hormat mempersilahkan kami minggir sebentar. Jelasnya,
kami ditilang gara-gara motor Vega abu-abu kami bannya kecil, tidak standar.
(kalau ingat, Ya Allah gehoooll beud yaaa motor Vega itu.hahahaha).
Hari
semakin panas, semakin siang. Semakin dekat juga dengan jam masuk sekolah. Akan
tetapi, ada rasa syukur saat itu, walaupun ditilang tiba juga di terminal BBM
Tegal Besar. ‘Pertamax, We’re coming !!!’
kira-kira begitu yang kami ingin katakan. Baru tiba di depan fuel counter karyawannya bilang, “Waduh
Mas kalau pertamax kita kosong, kirimnya dari pusat seminggu sekali juga belum
tentu.”
Helm
cebok (red: Madura, Indonesia : gayung mandi) putih yang dengan
tempelan bermacam-macam stiker yang menjadi tren kala itu rasanya tidak ada di
kepala. Gobyos dari kepala sampai ke
punggung. Muspro.
Dengan
sok berbesar hati kami pulang dan saya dibonceng dengan tetap membawa dua buah
jurigen kosong di kanan dan kiri. It’s okey. Jam menunjukkan pukul 11.30 dan
kami masih di Jember. Kami tidak boleh terlambat, karena jam pertama adalah
mata kuliah Bahasa Inggris yang dipegang oleh guru yang terkenal killer (disiplin lebih tepatnya) di mata siswa : Ibu Indrajani. Werrr...
sepanjang perjalanan ada suara harapan ‘Semoga gak telat Ya Allaaaaaahh...’
Laju
Vega kami harus terhenti di traffic light
Patrang. Sejenak ambil nafas karena sepanjang perjalanan Guruh memompa gas hingga
100 km/jam. Tapi ternyata nasib sial sepertinya sedang mengikuti kami.
Beruntung kaki saya ada di foot step
karena kaki Guruh yang sedang menapak di aspal harus terlindas oleh ban depan-belakang
sebuah angkot yang di dalamnya ada sekitar empat orang cewek ABG. ‘Aauuuuuuuuuuugghhh...
jancok, jangkrik, matane picek, patek, moseng, taho, temancok !!!’ saya hanya
tertunduk, antara tertawa dan prihatin. Prihatin karena seisi angkot
mentertawakan teman saya.
Syahdan,
kami tiba di rumah jam 12.15 harus mandi ektra cepat, sholat Dhuhur tipe patas,
dan ternyata kaki Guruh bengkak bukan main seperti kaki yang terserang
chikungunya stadium ringan. Dan ending dari cerita ini, kami telat. Mendapat
pencerahan (lebih tepatnya dimarahi, hehe) dari guru terdisiplin tahun itu di depan
seluruh kelas 1A. Dan
pertarungan si biru hari Minggu pun tidak manis, kami kalah. Ditambah lagi ketika
pulang balapan di waktu Maghrib. Shogun yang baru nangkring di teras
rumah Guruh harus hancur karena Bapaknya menendang keras-keras si biru yang
dimodif tak karuan. Stel balap mameeen.. hohoohoho