Pertengahan bulan Februari ketika kami sedang mondok di Pesantren Sabtu Ahad Ustadz Taufiq memilih untuk mengobrol saja karena dirasa sahabat-sahabat sudah banyak yang ngantuk, bagaimana tidak jam dinding di serambi depan masjid sudah menunjukkan pukul 23.05 WIB. Saat itu ada aku, Ubai, Budi, Fandi, Sefrina, Mbak Anisa, Laeli, Mbak Sari, dan Dik Leli.
“Mulai pekan depan sahabat-sahabat mondoknya di pondok pesantren belakang masjid, di Al-Lathifi, saya sudah sowan pada pengasuh dan sahabat-sahabat sangat dipersilahkan,” kata Ustadz Taufiq.
“Berangkat jam berapa Ustadz?” tanya Fandi semangat.
“Jam 5 kita kumpul di masjid kemudian bersama-sama ke pondok.”
Setelah hampir 45 menit kami mengobrol penuh makna di akhir perbincangan setelah berdo’a Ustadz Taufiq berkata, “Oya... hampir lupa Bai tolong buatkan surat permohonan menjadi penyaji untuk Ustadz Arifin Ilham.”
“Apa Ustadz?” tanya kami hampir bersamaan dengan wajah segar tidak mengantuk.
“Iya tolong segera buat kita akan mengundang Ustadz Arifin Ilham,” terang Ustadz Taufiq sambil tersenyum.
Kami pun saling berpandangan merasa tak percaya bahkan mustahil. Sejenak Ustadz Taufiq mengulurkan tanda berpamitan pada kami pertanda beliau akan pulang, kujabat tangannya dan kucium pungung tangannya seketika kurasakan wangi parfum silver yang semerbak. Beliau pun berbalik mengucapkan salam dan menyuruh kami agar segera tidur. Kami pun bergegas ke kantor untuk merebahkan tubuh yang sudah lelah, kami juga sempat mendengar suara motor Ustadz Taufiq meninggalkan masjid.
Tak lama kemudian kami pun memejamkan mata dan tak sadarkan diri karena sukma kami sudah beterbangan mencari ketenangan. Aku, Ubai, Budi, dan Fandi memulai mimpi dengan awalan doa sebelum melelapkan diri. Mimpi yang indah dengan bunga-bunga tidur menyejukkan. Memejamkan mata untuk mengawali bukanya mata di Subuh yang petang.
Tidak seperti biasanya, mungkin karena kelelahan kami baru bangun ketika mendengar suara muadzin Pak Rosidi mengumandangkan , Assholatu khairum minannaum !”
“Subhanallah....,” Aku kaget seraya membangkitkan tubuh untuk duduk.
“Astaghfirullah....,” Selang tiga detik Ubai juga terbangun.
Kami berempat pun menyegerakan diri untuk mengambil wudhu melewati koridor sebelah selatan masjid. Kuucapkan niat kemudian kuputar kran otomatis air pun mengucur, kubasuh tanganku dan kurasakan dinginnya air waktu subuh.
Tuntas sudah kewajibanku saat Subuh, kini aku harus beranjak meninggalkan masjid yang megah untuk pulang ke rumah. Kupanaskan sepeda Mioku selama kurang lebih tiga menit kemudian bersalaman dengan semua sahabatku dan kutinggalkan dengan memutar gas perlahan-lahan. Di depan pintu gerbang kuucapkan, “Allahumma inni asaluka minfadlikal ‘adzim.” Kupandangi masjid berkubah keemasan yang besar dengan sebuah menara menjulang tinggi di pojok kanan depan halaman masjid.
Aku masih terbayang dengan ucapan Ustadz Taufiq, akankah sebuah kenyataan Ustadz Arifin Ilham berkunjung ke Bondowoso ? Aku membayangkan betapa ramainya Majid Agung At-Taqwa. Sungguh luar biasa rasanya ? persiapan yang ekstra plus kondisi ruhiyah yang mantap sangat diperlukan. Bukan hanya materi tapi psikis para panitia harus sehat terlebih dulu. Mengdepankan hal-hal yang realistis dan akal sehat merupakan hal yang utama bukan aroma imajinatif yang hanya bisa menimbulkan emosional.
Sudah dua bulan sejak kami dan Ustadz Taufiq berbincang rasanya tidak ada apa-apa, hanya sebuah separuh keberhasilan, yach... hanya rencana. Ustadz Taufiq pun tidak pernah membahas bahkan program-program anyar yang menjadi planning matang. Rasanya sudah pupus angan-anganku. Seorang da’i berkaliber nasional akan bertausyiah di kota pensiun, Subhanallah.... aku tak bisa menghentikan mimpi-mimpiku yang indah.
Bulan April pun sudah menunjukkan tanda-tanda keraibannya yang akan digantikan oleh lembar harian baru bulan Mei. 21 April yang bersejarah bagi perkembangan kaum wanita sudah terlewat, masa-masa Kartini sudah dilalui tapi masih saja tak kudengar rencana besar itu. Aku merasa terjajah karena semangatku yang loyo sedangkan wanita-wanita memiliki semangat yang membara layaknya sebuah air yang mendidih, idealisme wanita sedang berkobar-kobar dan aku cuma bisa menciut tak memiliki harapan karena merasa ilusi-ilusi terindah sudah tak mungkin terwujud. Sejenak ku berpikir apakah Ustadz Arifin Ilham hanya memberikan senyumannya di dalam dunia mayaku ? atau memberikan sebuah senyuman yang berbunyi ‘Sabar, saya masih belum sempat ke Bondowoso mungkin di lain waktu’. Atau mungkin sebuah sedekah senyuman yang berarti ‘Walaupun saya tidak ke Bondowoso sama sekali tetapi saya akan berdoa untuk muslim saudaraku’.
Hujan yang baru saja reda, menarik diriku dalam suasana yang nyaman untuk mencurahkan hati dalam goresan-goresan tinta pada secarik kertas. Beberapa sahabatku telah pulang, tinggal aku dan Fandi di masjid. Fandi sibuk membaca buku sedangkan aku sedang bermain kata-kata dan frase untuk membentuk rangkaian kalimat indah luapan hati. 30 menit lepas dari jam 8 malam ponselku berdering, kali ini dari Budi. Kukira hanya mencoba missed call tapi sepertinya tidak, dengan segera kutekan tombol hijau dan kujawab salamnya,
“Wa’alaikum salam, ada apa Bud ?”
“Di masjid ada siapa saja sekarang?” dia langsung bertanya sebelum menjawab pertanyaanku.
“Tinggal saya dan dik Fandi,” jawabku singkat.
“Sekarang bisa ke dalem ustadz Taufiq ?”
“Iya wes, mang ada apa ?”
“Yang penting kesini dulu dah.”
“Ya wes... tak tutup ya Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam,”Budi menjawab seraya memutuskan.
Otomatis aku memberi tahu Fandi yang sedang duduk dua meter di samping kananku. Tanpa berlama-lama kukemas buku-buku dan alat tulisku ke dalam tas biru bermerk Fila. Fandi pun demikian dia langsung mengambil sepeda pancalnya dan mengayuh mendahuluiku sambil berkata,
“Kak saya berangkat dulu kita ketemu di dalem Ustadz Taufiq.”
Kuanggukkan kepala tanpa bersuara, cukup dengan sebuah senyuman dan suara dalam hati it’s okey.
Tak lama kemudian kami pun bertemu di dalem ustadz Taufiq, di ruang tamu sudah ada sahabat Budi yang duduk berhadapan dengan sang ustadz. Kuambil sebuah peci dalam tasku lalu kupakai sebagai salam takdzim dan norma kesopanan tradisi kami. Kuucapkan salam,
“Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikum salam, “jawab ustdaz dan Budi.
Kuraih tangan ustadz dan kucium sebagai rasa hormatku pada seorang guru lalu kujabat juga tangan Budi, begitu pula dengan Fandi yang ada di belakangku. Dalam malam yang dingin itu kami pun membicarakan rencana-rencana dan prospek REMAS At-Taqwa. Di tengah-tengah pembicaraan ketika ustadz mempersilahkan kami menikmati hidangan yang tersedia langsung kuambil cangkir berisi teh hangat. Saat aku akan meneguknya kuucapkan basmalah perlahan kemudian kulanjutkan dengan tegukan pertama yang menghangatkan dada. Namun pada tegukan selanjutnya ustadz Taufiq bertanya,
“Oh ya... bagaimana sekarang apa sahabat-sahabat sudah rajin ke masjid?”
“Alhamdulillah, lumayan Ustadz,” jawab Budi yang baru saja meletakkan cangkir.
“Sekarang kita harus bisa menarik sahabat-sahabat untuk beramai-ramai lagi memakmurkan masjid lebih-lebih sebentar lagi ada acara besar.”
“Acara apa Ustadz? Kan PESROM masih lama ?” tanyaku.
“Lho... sebentar lagi tanggal 23 atau 24 Mei kita akan mengundang ustadz Arifin Ilham.”
Aku tersedak pada tegukan keempatku, aku terkejut mendengar kalimat yang ustadz Taufiq ucapkan, dengan segera kutanyakan,
“Jadi sungguh Ustadz ? Sudah deal ?”
Ustadz Taufiq tidak menjawab malah beranjak dari tempat duduknya menuju lemari kecil di sebelah timur ruang tamu, sejenak beliau mencari sesuatu setelah itu dibawanya selembar kertas lalu beliau berikan padaku. Kubaca isinya, aku semakin kaget dan surprise ketika kubaca tulisan yang berbunyi ‘.......... maka jadwal ustadz Arifin Ilham berkunjung ke Bondowoso sebagai berikut :
Hari, tanggal : Jum’at, 23 Mei 2008
Waktu : 19.00 WIB ba’da Isya
Tempat : Masjid Agung At-Taqwa.
Subhanallah aku terkejut bukan main yang mengakibatkan aku tak bisa melepaskan kertas itu dan kubaca lagi dari atas, aku tak percaya asli atau tidak. Kuucapkan berkali-kali ‘sungguhan Ustadz?’ padahal aku sudah yakin ustadz Taufiq tidak berbohong. Ternyata inilah yang akan ustadz Taufiq bicarakan pada sahabat-sahabat REMAS dan yang jelas terkait dengan persiapan kita semua.
Aku telah salah menerjemahkan angan-anganku. Impianku untuk mendapatkan sebuah senyuman tipis dari ustadz Arifin Ilham rupanya akan terwujud, aku sudah tidak gamang lagi, aku sudah bisa menerawang dan merabanya. Sepertinya senyuman dari ustadz Arifin Ilham memiliki makna ‘Alhamdulillah saya bisa tiba di Bondowoso sepertinya orang-orang di kota ini ramah-ramah’. Mungkin seperti itu tapi bisa saja lebih karena aku yakin beliau orang yang rendah hati.
Selepas dari dalem ustdaz Taufiq itulah yang kubayangkan, aku mulai bersemangat. Inilah yang akan memompa semangat berdakwah, inilah yang memotivasi nurani untuk ber-fastabiqul khairat, dan inilah yang memecut punggung dengan sebatang menjalin untuk giat mencari ridhonya. Kesempatan perdana bagi REMAS At-Taqwa untuk mendatangkan ustadz Arifin Ilham ke Bondowoso.
30 April sampai 23 Mei merupakan waktu yang tak lama untuk mempersiapkan acara besar berkaliber nasional yang kemungkinan besar akan dihadiri oleh jamaah yang luar bisa pula banyaknya. Pertemuan untuk bermusyawarah demi lancarnya dan suksesnya acara mulai dilaksanakan. Ide-ide kreatif dan gagasan berbagi diajukan di forum itu. Berbagi pengalaman dan melihat kemungkinan yang terjadi diperhitungkan dengan matang. Rencana pemasukan dana juga menjadi salah satu prioritas. Konsep dan susunan acara adalah hal penting yang fundamental pula. Dan yang tak kalah urgent-nya adalah fasilitas dan akomodasi ustdz Arifin dan crew-nya. Masalah penjemputan serta pengawalan yang ketat demi keamanan termasuk sesuatu yang dimusyawarahkan bersama. Publikasi pada masyarakat luas melalui media-media juga kami pikirkan. Anggota musyawarah juga berpikir tentang undangan serta persuratan yang akan beredar. Luar biasa dan sungguh menkjubkan. Di waktu yang singkat amanah yang tersedia bukan kepalang jumlahnya. Aku jadi teringat dengan sebuah kalimat di majalah Tarbawi yang berbunyi ‘Waktu yang ada lebih sedikit daripada amanah yang tersedia oleh karena itu jangan sia-siakan waktu kita’. Aku terpacu akan kalimat tersebut. Ingin rasanya memaksimalkan waktu untuk menjalankan amanah-amanah yang Allah SWT berikan padaku tanpa satu pun yang terbengkalai.
Detik yang berlalu akan membentuk satuan menit yang baru, menit yang berputar dengan senang hati menjadi satuan jam, jam pun demikian akan membentuk hari, hari yang terlewati juga tak ketinggalan menjadi satuan minggu. Hal itu membuat jantung seluruh panitia berdegup lebih kencang daripada biasanya, menjadikan bulu kuduk berdiri seperti tersengat udara yang sangat dingin. Memprediksikan sesuatu yang tak diketahui akan peristiwa yang akan terjadi. Namun kami para panitia hanya bisa berpikir positif pada Allah SWT karena kami yakin Allah SWT akan berprasangka seperti hamba-Nya berprasangka. Kalau pun kami memikirkan kemungkinan terburuk itu hanya sedikit namun kami juga sudah mempersiapkan solusinya.
Sore itu 22 Mei 2008 tepat hari Kamis kami REMAS At-Taqwa dan seluruh panitia bergotong royong untuk kerja bakti membersihkan lingkungan masjid yang kurang asri, bersih dan cenderung tidak menyedapkan mata. Kerja bakti tersebut kami mulai sejak sebelum Ashar. Membersihkan selokan yang buntu, menyapu serambi, ruang tengah, dan lantai dua masjid, membersihkan serta merapikan kantor REMAS dan menyaapu halaman depan kami lakukan saat itu sampai menjelang Maghrib. Ba’da Maghrib seluruh panitia kembali berkumpul di masjid untuk melakukan rapat pemantapan terakhir. Rapat tersebut dilaksanakan selepas sholat Isya’ berjamaah. Seluruh persiapan mulai dari perlengkapan sampai dengan teknis pelaksanaan kami mantapkan.
Pada malam itu juga ada satu hal yang membuatku kaget dan merasa iri. Sahabatku Budi ikut menjemput ustadz Arifin Ilham bersama ustadz Dodo di kota tetangga Banyuwangi. Bagaimana tidak iri, sebuah kebaikan dan pengalaman indah bisa menjemput orang sholih yang dekat dengan Allah SWT. Yaaah... mungkin masih belum waktunya dan mungkin Allah SWT mentakdirkan aku untuk tinggal karena aku lebih cocok untuk tidak kemana-mana. Kekecewaanku dapat terobati oleh sahabat-sahabatku yang masih ramai dan setia di masjid hingga larut malam. Saat itu kami memasang umbul-umbul di depan masjid yang jumlahnya sepuluh buah. Bambu-bambu panjang kami gotong bersama untuk kami tegakkan dan kibarkan umbul-umbul kebanggaan bertulis REMAS AT-TAQWA dan YAYASAN AT-TAQWA. Setelah terpasang, kulihat dari seberang betapa mempesonanya tulisan tersebut menjadikan orang-orang yang melihatnya ingin mampir bersinggah ke dalam masjid.
Jum’at, 23 Mei 2008 setelah adzan pertama pada sholat Jum’at berjama’ah orang bergamis putih dengan sorban melingkar di kepalanya mengambil michrophon untuk membacakan permohonan doa dari beberapa jama’ah. Orang tersebut berpawakan tidak terlalu besar dan suaranya sudah tidak asing lagi, seorang imam besar masjid Agung At-Taqwa yang juga seorang mufti serta pengurus takmir bidang kemasjidan. Beliaulah Drs. H. Achmad Sodiq, orangnya wibawa dan bijaksana. Setelah membacakan suratul Fatihah beliau mengumumkan pada jama’ah,
“Diinformasikan juga pada jama’ah sholat Jum’at bahwa nanti jam 5 sore ada acara dzikir akbar bersama ustadz Arifin Ilham dari Jakarta. Untuk itu para jama’ah diharapkan hadir di masjid ini. Terima kasih. Wassalamu’alaiku Warrahmatullahi wa Barokatuh.”
Perasaan semakin senang tapi juga tak karuan karena ada rasa nervous yang bergejolak. Ba’da sholat Jum’at aku, Ubai, dan Mas Ipunk berdiri di dekat pintu gerbang masjid. Aku di sebelah utara, Ubai di sebelah selatan dan Mas Ipunk di tengah. Kami menyebarkan buletin bulanan pada jama’ah sholat Jum’at yang akan meninggalkan masjid. Untuk bulan Mei 2008 buletin REMAS AT-Taqwa yang bernama Al-Uswah atau yang memiliki nama panjang Ahli Sunnah wal Jama’ah bertemakan Berdzikir. Di dalamnya menyangkut keutamaan atau fadillah-fadillah berdzikir, selain itu juga ada cerita singkat kisah hidup ustadz Arifin Ilham yang akan memimpin dzikir serta memberikan tausiah pada jama’ah Bondowoso Berdzikir. Setelah sekitar 500 buletin tersebar kami bergegas pulang untuk makan siang dan ganti pakaian karena jam 2 siang kami akan kembali ke masjid untuk bekerja bakti membersihkan sisa-sisa sa,pah kecil yang masih berkeliaran.
Sore sudah menjelang, matahari sudah semakin malu untuk menampakkan dirinya, ia bersegera untuk menyembunyikan dirinya di balik sisi bumi yang lain. Saat itu terlihat jelas kerumunan orang mengenakan baju putih-putih menuju masjid At-Taqwa tercinta. Anak-anak usia SD, SMP, para remaja putra dan putri, bapak-bapak, ibu-ibu, nenek-nenek, dan kakek-kakek juga bersemangat berbondong-bondong memasuki area rumah-Nya. Hal itu mengingatkanku pada padatnya sholat Idul Fitri 1 syawal hanya saja yang ini terjadi sore hari menjelang petang. Pengamanan dan pengaturan lalu lintas juga bersiap siaga. Personil polisi, Satpol PP, dan pegawai lantas dari DLLAJ berdiri gagah dan sigap dalam setiap tugasnya.
“Allahuakbar... Allahuakbar....”
Suara adzan Maghrib berkumandang betapa merdunya pita suara yang bergetar milik Pak Samsul Anam membuat orang-orang yang baru datang bergegas masuk ke dalam masjid untuk sholat sunnah tahiyatal masjid an qobliyatal Maghrib. Aku juga sudah tahu kalau saat ini ustadz Arifin Ilham dan crew-nya sudah tiba di Bondowoso dan kini ada di dalem ustadz Dodo karena beberapa menit yang lalu Budi selalu mengabariku tentang posisinya dan rombongan ustadz Arifin. Kabar pertama di Wonosari lalu di depan terminal dan yang terakhir tiba di dalem ustadz Dodo. Iqomah pun berkumandang, seluruh anak Adam yang ada menunaikan kewajibannya untuk sholat Maghrib, imam sholat adalah ustadz Sodiq.
Setelah sholat Maghrib sembari menunggu kedatangan pemimpin Bondowoso Berdzikir seluruh isi masjid dan jama’ah yang ada di luar bahkan yang di jalan raya pun turut mendendangkan sholawat yang dipimpin oleh ustadz Sodiq.
Isya’ menjelang, sekitar pukul 18.23ustadz Arifin memasuki halaman masjid beliau dikawal ketat demi keamanan kemudian langsung masuk ke ruang samping masjid yang tembus pintu depan pengimaman atau ruang imam. Adzan Isya’ berkumandang, sholat Isya’pun ditunaikan. Setelah itu master of ceremonial acara Bondowoso Berdzikir, ustadz Taufiq mempersilahkan ustadz Arifin memberikan tausiah. Seluruh isi masjid hening tak bersuara hanya ada suara serak khas ustadz Arifin. Di awal tausiahnya saja sudah banyak jama’ah yang meneteskan air mata sadar dan taubat termasuk aku. Sekitar 5 menit kemudian lampu dipadamkan dzikir pun dimulai semua duduk khusuk menghadap kiblat mendengar suara serak ustadz Arifin.
Aku duduk bedzikir di depan, tepatnya di dekat ruang pengimaman dengan beberapa ustadz dan sahabat-sahabatku. Tepat di sebelah kananku ada Pak Rosidi soundman takmir masjid dan di sebelah kiriku ada Handoko. Aku terenyuh mendengarkan suara seorang Arifin Ilham menikmati indahnya diksi-diksi unuk memuji keagungan-Nya. Lisan ini mengucap tasbih dan istighfar atas apa-apa yang telah terjadi padaku. Aku tak kuasa membendung air mata yang sudah menggenang di sekitar kedua bola mataku sehingga air mata itu meleleh membasahi pipi kanan dan kiriku. Aku terlalu berdosa pada-Nya, aku terlalu sering mengingkari amanahku, aku terlarut dalam kemeriahan warna hidup yang justru menjerumuskanku. Lebih-lebih aku semakin sesak dan ingin rasanya berteriak sekeras-kerasnya layaknya seorang rocker di atas panggung, hatiku menjerit karena salahku pada orang tua, ayah bunda yang sudah menggunung dan seluas samudera yang biru. Aku ingin sekali mengucapkan kata maaf dan memeluk mereka.
Allah ampunilah dosa-dosa kedua orang tuaku kasihanilah mereka seperti mereka mengasihiku di waktu kecil. Dan yang terlewatkan juga ustadz Arifin Ilham mengingatkan pada seluruh jamaah akan perjuangan besar yang rela mati sampai darah terakhirnya habis, beliau adalah Rasul Muhammad SAW yang telah menuntun ummamtnya sampai mengenal nur Islam. Dialah cahaya di atas cahaya yang tak pernah lupa pada Sang Robb yang selalu berdzikir pada-Nya. Sholawat untuknya kami ucapkan Yaa Nabi Salam ‘Alaika... Yaa Rasul Salam Salam Mu’alaika Ya Habib Salam ‘Alaika Sholawatullah ‘Alaika. Aku terlalu jauh meninggalkan sunnahmu, aku terlalu sering melupakanmu, aku tak sering lagi bersholawat padamu, aku hampir saja tak ingat perjuanganmu yang sungguh tiada tandingnya dibanding manusia-manusia yang Dia ciptakan. Ya Rasulullah.... aku masih ingin menjadi hamba-Mu yang suatu saat nanti ketika hari itu tiba engkau memberikan syafaat pada ummatmu ini.
Hampir 3600 detik aku berdzikir mengingat dzat yang aku sembah selama ini, sebelum ustadz Arifn mengakhiri dzikir akbar beliau mempersilahkan seluruh jama’ah untuk bersujud dan bersimpuh merendahkan diri di hadapan Sang Khalik mempersilahkan untuk bertafakur dan memohon ampun atas apa-apa yang sudah diberbuat. Aku lemah, bodoh, dan tak berdaya mengapa harus angkuh selama ini? Maafkan hamba-Mu ini.
Suusai acara tersebut anggota REMAS dan panitia berkumpul menjadi satu untuk bersama-sama membereskan semua perlengkapan yang ada, membersihkan halaman dan merapikan sesuatu pada tempat semula. Aku sungguh terharu dengan perjuangan dakwah yang Allah anugerahkan untukku ini.
Rupanya aku masih bisa membuka mata dan bergerak di pagi hari sebelum adzan Subuh berkumandang. Aku ucapkan syukurku, Alhamdulillah. Allah SWT masih memberikanku kesempatan untuk meningkatkan kualitas iman agar aku bertaqwa. Sebuah peluang bagi hamba kecil ini untuk terus bertaubat. Fajar yang menyingsing kala itu memberikan sebuah senyuman rohani lewat ustadz Arifin Ilham saat kuliah Subuh. Walaupun hanya beberapa menit seluruh jamaah yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada hari-hari biasanya harus terpaku menyimak tausiah yang mendalam dari sang ustadz, tak jarang dari mereka turut meneteskan air mata.
Alhamdulillah... kami para panitia mendapatkan sebuah kesempatan yang tak terhingga, bertemu dan bersalaman juga foto bersama sang ustadz. Di pagi itu selesai sholat Subuh tepatnya di dalem ustadz Dodo tempat ustadz Arifin dan rombongan beristirahat. Moment yang luar biasa bagi kami unuk bisa langsung bertatap muka dengan da’i sholih milik Indonesia yang makmur. Saatitu benar apa yang kuimpikan sebelumnya, senyuman hangat yang sungguh bermakna dari ustadz Arifin Ilham. Sebuah sedekah yang tak pernah terlupakan, senyuman tipis tanda ukhuwah Islamiah yang berkesan walaupun mungkin untuk yang pertama dan terakhir kalinya. Tapi... kami semua berharap suatu saat nanti kami dapat bertemu dengan kekasih-kekasih Allah dan orang-orang sholih termasuk ustadz Arifin Ilham. Amiin...