Laman

Rabu, 06 Maret 2013

Maybe, Seje Deso Mowo Coro


Mencampuri urusan orang lain dan memberikan perhatian terkadang ada sekat yang tipis transparan untuk membedakannya, hanya saja ada inti yang jelas berbeda antara ikut campur dan pay attention, sedangkan kemiripannya adalah sama-sama berpartisipasi untuk orang lain.

Ada satu lagi yang berbeda dengan mencampuri urusan orang lain atau pun memberikan perhatian, cuek dan apatis. Kedua hal tersebut terkadang membuat saya geleng-geleng walaupun saya juga pernah atau bahkan sering apatis terhadap beberapa hal. Namun masih tetap bersyukur, karena cuek dan apatis saya tepat pada porsinya.

Kali ini bukan saya bermaksud untuk membicarakan orang lain, tapi saya melihat fenomena di sekitar saya tentang keapatisan, yang saya tahu ketika kita punya konco plek,  atau paling tidak teman sepermainan harus saling mengerti. Memahami suka dukanya. Itu sekedar pengalaman, beruntung saya punya teman sepermainan yang tidak apatis pada saya. Kontras mungkin, ketika saya melihat orang lain dengan sekumpulan konco pleknya yang sering bersama, ngalor ngidul bareng-bareng tapi ketika salah seorang dari mereka berduka, dia justru bercerita pada orang yang bukan teman sepermainannya. Sedih. 

Entah kenapa ? tapi saya mencoba melihat dari beberapa sudut pandang, yang pertama teman-teman sepermainannya tidak ingin mencampuri urusan teman lainnya, yang kelihatannya malah nyerempet-nyerempet sama apatis. Memberikan perhatian mungkin juga sudah dilakukan hanya saja yang berduka kurang peka, bisa jadi demikian. Naaaah... di sekitar saya ada yang demikian, kumpulan-kumpulan itu terlihat akrab sekali, tertawa bareng, bercanda bareng, tapi ternyata satu sama lain tidak tahu latar belakang temannya sendiri. Kasihan.

Pengalaman saya ketika saya punya teman sepermainan, saya dan teman-teman saya tahu minimal keluarga teman-teman saya itu seperti apa. Walaupun mungkin belum sempat berjumpa tapi paling tidak ada gambaran kalau mereka adalah bagian kecil dari saudara baru saya, ya saudara yang terikat karena silaturrahmi. Berbeda dengan yang saya lihat di sekeliling saya, entahlah mungkin pepatah kuno "Seje deso mowo coro" berlaku juga untuk pertemenan. 


Backbone




Rutinitas bangun paginya saat Subuh tak pernah terlewatkan, maklum dia muslim. Bergegas untuk membereskan isi rumah pagi-pagi dan membangunkan si kecil yang masih penuh manja, dengan sabar ia membangunkan buah hati tercintanya. Sejenak terkesan dia over dalam menyayangi si kecil, mungkin karena buah cinta pertamanya. Setelah si kecil merengek manja, dengan sigap dia mengajak si kecil untuk mandi pagi dengan air hangat yang telah ia siapkan. Menghabiskan waktu 15-30 menit untuk memandikan seorang anak berusia empat tahun, sambil bermain keceh-keceh air di bak biru bergambar Sponge Bob.


Santap sarapan pagi bersama si kecil tak pernah ia lewatkan walaupun hanya dengan sebutir telor ceplok, mie instan dan segelas teh hangat. Berlebihan mungkin, sampai-sampai ia harus bersama si kecil di waktu pagi, termasuk juga mengantarkan si kecil sekolah di taman kanak-kanak. Rutinitas paginya selalu begitu, stabil, konstan, itu-itu saja tiap pagi.


Dia bukan ibu dari bocah kecil yang TK itu, yaa... seharusnya rutinitas seperti itu punya sang ibu tapi ini tidak, yang ini ayah si bocah yang melakukan, mungkin karena sang ayah harus berangkat kerja setelah mengantarkan buah hatinya ke sekolah dan seringkali keadaan yang memaksanya untuk tiba di rumah pukul 18.30 – 19.00.


Pekerjaan apa yang dilakoni sang ayah ? mungkin kebanyakan orang berpandangan bahwa sang ayah workaholic yang sangat, yang sampai melupakan keluarganya, yang lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah bersama lainnya, mungkin juga banya pikiran bahwa yang ia kejar hanyalah uang, uang, dan uang tanpa memikirkan keharmonisan sebuah rumah tangga. Tunggu dulu, keadaan yang memaksanya, bukan keadaan financial hanya untuk sekedar membuat dapur mengepul. Tapi keadaan yang mungkin justru membuatnya menebar amal di luar sana.


Sang ayah harus memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat luas, yang itu mungkin terlihat menggadaikan pertemuan sang ayah dengan anak istrinya. Seperti kita tahu Tuhan memberikan rizki kepada hambanya dengan cara yang tiap orang punya relnya sendiri untuk menerima keberlimpahan itu. Sang ayah ini harus menjemput apa-apa yang sudah dijanjikan Tuhannya melalui waktu berjam-jam di luar gubuknya, berangkat pagi dan pulang malam. Sudah kodratnya menelusuri janji Tuhan itu dengan menempuh jarak kurang lebih 25 km dari rumahnya, jarak yang tidak hanya sekedar angka 25 km, tapi dilengkapi dengan medan yang terjal, berkelok-kelok, bebatuan, ya itu semua karena rizkinya ada disana. Di dataran tinggi, pegunungan. Sang ayah bertugas untul memberikan pelayanan sebagai inseminator kawin suntik sapi kepada masyarakat banyak di gunung sana. Tak pernah ada kata libur baginya, Sabtu dan Minggu di akhir pekan yang katanya hari untuk berquality time bersama keluarga juga harus dipakai untuk memberikan pelayanan. Jika begitu apakah hanya sekedar uang yang menjadi alasan ?


Bayangkan saja,  jika dia harus mengabaikan permintaan para peternak tradisional yang sebagian besar adalah golongan menengah ke bawah. Masih tidak bisa membayangkan ? Begini, sapi, betina khususnya bagi orang pegunungan merupakan harta berharga, bisa dikatakan tabungan hidup yang sewaktu-waktu bisa mereka gunakan untuk keperluan mendadak. Ketika dalam satu tahun sapi betina mereka tidak beranak maka mereka akan mengalami kerugian mencari pakan dan biaya pemeliharaan. Betapa capeknya mencari rumput, berangkat pagi-pagi bermodalkan sebilah celurit dan satu karung kosong dan harus memikul rumput yang telah diarit untuk diberikan pada sapinya saat senja menjelang. Jika selama satu tahun demikian dan si sapi betina tak beranak, maka darimana mereka harus menambah pundi-pundi tabungannya ?


Begini, sedikit berbagi, peternak akan memanggil inseminator jika sapinya menunjukkan tanda-tanda birahi. Nah... ketika sapi birahi bukan urusan yang sederhana karena birahi sapi memiliki siklus. Siklus yang tidak lebih dari sehari, dua hari, atau tiga hari. Lama birahi sapi kira-kira 15-20 jam dan rata-rata 18 jam.  Agar diperoleh kebuntingan inseminasi buatan yang tinggi maka waktu inseminasi yang baik adalah pertengahan birahi sampai 6 jam setelah birahi berakhir atau 9-24 jam dari awal tanda birahi. Gampangnya, ketika sapi menunjukkan birahi di pagi hari maka waktu yang tepat untuk meng-IB adalah di hari yang sama. Jika birahinya siang atau sore hari maka yang baik untuk meng-IB adalah hari berikutnya sebelum terlalu siang/sore (sebelum jam 12.00 kira2). 


Melihat siklus birahi sapi betina yang demikian, maka sang ayah harus tepat waktu jika terlambat kesempatan untuk memiliki embrio sapi baru akan pupus, sehingga harus menunggu satu siklus lagi (21 hari lagi) bagi peternak untuk munculnya birahi, bayangkan 21 hari menunggu dengan aktivitas mencari rumput lagi, mubadzir rasanya siklus yang kemarin. Hanya gara-gara sang inseminator tidak tepat waktu, tidak memberikan pelayanan yang baik.


Mungkin itulah yang menjadikan sang ayah harus merelakan waktunya di luar, bersama peternak dan sapi-sapi betinanya. Dia hanya tidak ingin peternak nelongso karena sapinya tak kunjung bunting karena terabaikan olehnya yang pada akhirnya tak kunjung berbuahlah tabungan si peternak.