Tiba-tiba guruku datang ke rumah bersama seorang santrinya, aku terhenyak dan merasa sangat terkejut, dalam rangka apa beliau kemari ??? Sore itu menjadi sore yang istimewa bagiku, mendapat kunjungan dari orang yang sangat kuhormati. Parasnya yang tampan lagi wibawa memberikan sesungging senyum saat aku mengakhiri waktu mengajar ngaji kepada bocah-bocah kecil yang selalu menemaniku setiap pukul 15.30 sampai 17.00.

Satu per satu bocah-bocah polos itu berbaris dan menyalamiku, tanda TPQ sudah berakhir.
“Oh iyaaa adik-adik, Ustadz dan mas disini juga dicium yaa tangannya,” pintaku kepada mereka sambil menunjuk guruku dan santrinya.
***************
Adzan Maghrib berkumandang. Kung Ripin yang usianya sudah senja masih tetap istiqomah untuk melantunkan panggilan suci itu. Suaranya semakin parau. Sepuh sekali sekarang. Rambutnya semakin memutih dengan raut wajah yang semakin banyak kerutannya.
Aku, guruku, dan santrinya bergegas menjemput suara adzan itu. Menuju Masjid Al-Ihsan yang tak sampai seratus meter dari rumahku.
Rupa-rupanya, warga sekitar terpesona dengan guruku yang memang wibawa, ‘alim, dan tampan. Mereka sudah menyangka kalau beliau adalah guruku yang jauh-jauh datang untuk bersilaturrahmi dan menjenguk muridnya. Walhasil, selepas Maghrib rumahku kebanjiran tamu yang tak lain dan tak bukan adalah tetangga-tetanggaku yang sebagian besar berjamaah diimami Kung Ripin tadi.
“Lebih baik pengajian mawon pun teng mriki,” bisikku pada guruku.
********************
Mula-mula beliau memperkenalkan diri kepada tamu-tamu, kemudian melanjutkan tausiahnya yang disambut ramah oleh tetangga-tetanggaku. Ada sebuah kesan tersendiri yang begitu mendalam ketika beliau mengisahkan kanjeng Nabi SAW yang begitu agung, tidak hanya kalimat indah yang terlontar, tetapi juga suara tegas dan sanjungan mesra pada kanjeng Nabi SAW terasa masuk kepada jiwa-jiwa kami. Bukan sekedar pembicaraan seorang uswah yang terjadi, tapi beliau seakan-akan juga sudah meneladani sang uswah tersebut sehingga setiap kata benar-benar tertancap dan masuk pada ruh-ruh kami. Senyuman kecil yang tulus perlahan-lahan berubah menjadi kerutan-kerutan wajah yang mengharu biru, beliau terdiam sambil menghela nafas, menunduk tak menatap mata para tamu. Kemudian kami semua melihat beliau menyeka sesuatu dengan sorban yang ada di pundaknya. Menengadah dan melihat kami satu per satu, mata bening itu baru menitikkan air mata. Kami tertegun, aku melihat tetangga-tetanggaku ternyata juga sedang melelehkan air matanya yang tak terbendung.
Lalu beliau tersenyum melihat wajah kami, “Bapak-bapak semua, jujur saya tidak bisa menahan air mata ini, saya begitu tersentuh ketika Kanjeng Nabi akan wafat.” Mata beliau menatap tajam namun terlihat jelas sinar ketulusan pada kami, lalu beliau tersenyum dan berkata lirih “Ummati...Ummati...Ummati...” Sontak, seluruh tamu yang duduk di hamparan permadani hijau ruang tamuku menunduk dan semakin meneteskan air mata. Semua, tanpa terkecuali. Kami terharu, betul, kami seperti lupa bahwa yang disebut kanjeng Nabi di saat-saat terakhirnya adalah kami : ummatnya. Dan guruku mengingatkan kami atas kepedulian baginda SAW.
Beliau berdiri dan sekali lagi tetap tersenyum dengan mata yang semakin memerah, memberikan isyarat kepada kami agar ikut berdiri juga dan, “Assalamu’alaika ayyuhannabiyyu warrohmatullahi wabarakatuh,” sebut beliau sedikit lirih. Kami pun berbaris bersalam-salaman sambil bersholawat mirip seperti pemandangan ketika aku mengakhiri TPQ tiap sore.
Berakhir sudah pengajian ndadakan ba’da Maghrib itu, kami pun hadir dengan semangat baru menyongsong hari esok, gelora baru untuk terus meneladani manusia agung.
Akan tetapi selepas pengajian itu yang kudengar bukan kumandang adzan Isya’ melainkan adzan Subuh, semakin kupekakkan telinga ini, iyaaa ini adzan Subuh, bukan adzan Isya’. Aku kaget dan kucoba menyadarkan diriku. Ah... ternyata aku bermimpi, . . . kuambil wudhu untuk menyambut fajar di masjid Al-Ihsan.
-nice dream-