“Ingatlah dulu ketika berusaha berjuang mendapatkannya, ingatlah ketika berdoa agar dapat memilikinya, adakah ketika dia akan terlepas, engkau berbuat seperti dulu ingin mendapatkannya? Isi dunia memang tiada sempurna tapi jalan orang sempurna adalah bersyukur, menerima atas apa yang diterimanya, dan menyesal telah menyia-nyiakannya.”
15:40, Jumat, 21 Januari 2010 kalimat itu masuk di inbox nokia C5 setelah aku berjamaah sholat Ashar. Sejenak aku merenung dan membacanya berulang - ulang, kupikir dan kucerna kata per kata. Apa yang beliau kirimkan seringkali sesuai dengan kondisi ruhiyah dan batiniyahku.
Sahabat, penulis ingin berbagi sedikit disini. Berbagi hikmah dan pelajaran berharga mengenai apa yang telah aku alami sebagai seorang muslim, mengenai ikatan yang begitu erat antara seorang guru dan muridnya.
Guru, digugu lan ditiru. Sudah selayaknya kita mencari guru yang benar – benar bisa menjadi contoh bagi kita, contoh yang mencontohkan perilakunya, contoh yang mencontohkan kehidupan seharusnya, contoh yang mencontohkan telatennya menangani orang lain, contoh yang mencontohkan keistiqomahan dalam tiap langkahnya, contoh yang mencontohkan bagaimana kita mencari ridho Allah ta’ala.
Sejak kecil kita sudah bertemu berpuluh – puluh guru yang telah mendidik kita mengenalkan satu huruf alif, angka 1 – 10, huruf a,b,c,d, hingga ilmu – ilmu yang lebih rumit. Akan tetapi, pernahkah kita berpikir siapa guru yang telah mendidik batin kita ? Yang memperhatikan ‘ubudiyah kita ? Yang memberikan motivasi melalui ilmu agama dengan baik ? Terkadang atau bahkan kita sering lupa semua itu. Beliau – beliau yang sering kita ingat adalah yang Proffesor, doktor, S1, S2, kepala sekolah, guru teladan se-Kabupaten, se-Provinsi, atau nasional. Rupanya, beliau – beliau yang lebih prihatin terhadap kondisi keimanan dan ketakwaan kita jarang terbesit atau mungkin kita lupa untuk menyebut nama mereka dalam doa kita, na’udzubiLlah.
Guru spiritual, pembimbing iman dan takwa kita sebenarnya juga sama posisinya seperti guru – guru pada umumnya bahkan bisa saja lebih tinggi karena ketika ilmu – ilmu umum yang kita terima jika tidak kita hubungkan dengan ilmu – ilmu ketauhidan yang telah diajarkan guru – guru agama maka bisa – bisa kita terjerumus dalam lautan akal yang mengutamakan logika tanpa melihat sudut pandang hati nurani dan sunnatullah ataupun rahasia Illahi. Hal demikian menjadi bahaya jika terjadi pada seorang muslim, dikatakan muslim intelektual ya bukan karena pemikirannya mengesampingkan atau bahkan tidak menganggap siapa pemilik semua ilmu : Allah swt, seharusnya muslim intelektual adalah muslim yang bisa memberikan point of view terhadap fenomena alam secara ilmiah dengan mengingat dan bersyukur bahwa lautan ilmu Allah swt begitu hebat. Oleh karena itu, untuk memahami bahwa ilmu – ilmu yang ada adalah benar – benar milik Sang Khalik kita tidak bisa lepas dari peran guru spiritual yang membimbing rohani kita.
Menjadi orang berilmu itu hak dan kewajiban seorang muslim, Rasulullah saw bersabda, “Menuntut ilmu wajib atas tiap muslim (baik muslimin maupun muslimah). (HR. Ibnu Majah)”
Hanya saja kita juga harus mencari ilmu itu pada orang yang tepat, pada seorang yang memang patut digugu lan ditiru, salah mengambil langkah dalam penentuan kepada siapa kita berguru maka langkah – langkah kita selanjutnya sedikit banyak akan mengikuti apa – apa yang telah didoktrinkan pada neuron – neuron otak kita. Contoh kecil saja, ketika kita berguru pada seorang ahli fikih akan berbeda sikap kita dengan orang yang berguru pada seorang ahli tassawuf. Maka dari itu kita sebagai decision maker dalam berguru harus benar – benar teliti, benar – benar paham pada orang yang akan kita jadikan guru. Guru yang berilmu banyak, berwibawa, dan bisa ‘ngemong’ kita, guru yang paket komplit, karena Rasul pun bersabda, “Duduk bersama para ulama adalah ibadah. (HR. Ad-Dailami).”
Wa ba’du, bagi penulis guru spiritual benar – benar berpengaruh bagi perjalanan kita ke depan, mereka adalah orang tua kita setelah orang tua kandung kita maka mereka juga wajib kita hormati dan taati. Suatu ketika sahabat akan merindukan nasehat – nasehat mereka ketika sahabat harus hidup tidak di dekat mereka. Rindu akan tausiah dan suaranya yang biasanya mengisi pengajian rutin di majlis ta’lim.